Chapter 6: The Hospital of As Village

Aku memasuki tendaku untuk beristirahat. Teman satu tendaku adalah Javier dan Omoni. Di tenda lainnya ada Andre, Mark, dan Wilden. Sedangkan di tenda wanita anggotanya adalah Kara, Aida, dan Rhena. Javier dan Omoni telah terlebih dahulu berbaring. Aku kemudian ikut merebahkan diri di dalam tenda, bersiap untuk tidur.

“Tidur dengan nyenyak, Somer. Pekerjaan kita untuk besok cukup berat,” ujar Javier.

“Terima kasih, Javier,” jawabku.

“Hei Somer. Kulihat kau begitu akrab dengan sepupumu itu,” ujar Omoni.

“Begitulah. Tidak hanya dengannya, tapi juga dengan kakaknya yang bernama Joey, yang juga termasuk ke dalam tim dokter sukarelawan. Kami begitu akrab sejak kecil,” ujarku.

“Baguslah. Sepertinya kalian akan mengadakan reuni di kegiatan ini,” sahut Omoni.

“Kau benar,” jawabku singkat.


Setengah jam telah berlalu. Javier dan Omoni sudah tidur. Aku masih belum mampu memejamkan mataku. Kuputuskan untuk pergi ke luar sekedar untuk mencari angin. Keadaan di luar begitu gelap, sehingga aku harus menggunakan senter. Tiba-tiba aku menyadari seseorang keluar dari tenda. Kuarahkan senter kepadanya. Ternyata orang itu adalah Rhena.

“Kau belum tidur?” tanyaku.

“Belum. Aku keluar karena melihat cahaya sentermu dari balik tenda,” jawabnya.

Aku berjalan mendekatinya yang sedang berdiri di depan tenda. Kemudian kami duduk di depan tenda itu. Rhena mengeluarkan dompet dari saku celananya. Dia ingin mengambil sesuatu dari dalam dompet itu, tapi keadaan terlalu gelap.

“Bisa kau bantu menyoroti dompetku ini?” pintanya.

Aku mengarahkan cahaya senter ke dalam dompetnya. Sekarang dia bisa melihat dengan jelas benda-benda di dalam dompet itu. Dia mengeluarkan sebuah foto dari dalam dompet itu.

“Fred, kau masih ingat tempat ini?” tanyanya.

Aku menyoroti foto itu dan memperhatikannya. Ada tiga orang anak-anak di foto itu. Mereka tidak lain adalah aku, Rhena, dan Joey. Saat itu aku berusia dua belas tahun, Rhena berusia delapan tahun, dan Joey berusia empat belas tahun. Di foto itu cuaca sangat cerah dan bersahabat. Yang menjadi latar foto itu adalah sebuah sungai yang tidak asing lagi bagiku.

“Sungai Herin,” jawabku sambil tersenyum.


Sungai Herin adalah batas alam kota Roro dengan kota Esel, kota kelahiranku. Sebagai penghubung kedua kota, di atas sungai ini berdiri sebuah jembatan yang bernama jembatan Herin. Sebagian wilayah sungai ini merupakan kawasan Roro, sedangkan sebagian lain merupakan kawasan Esel. Sungai ini menjadi daya tarik wisata kedua kota karena keindahannya. Berbagai toko cinderamata, aksesoris, pernak-pernik, makanan, sampai Nata-nata ada di pinggiran sungai ini. Di malam hari, lampu-lampu di pinggiran sungai sampai ke jembatan Herin akan menghiasi kawasan ini dan memberikan keindahan yang luar biasa. Tempat ini adalah tempat yang sering aku, Joey, dan Rhena kunjungi saat masih kecil.

“Aku rindu saat-saat kita sering bermain ke tempat ini dulu,” ungkap Rhena.

Aku menepuk punggungnya.

“Bagaimana kalau kita kesana setelah kegiatan ini?” ajakku.

Rhena terlihat begitu senang mendengar ajakanku.

“Dengan senang hati, Fred!” jawabnya ceria.

“Sekarang lebih baik kita tidur. Pekerjaan besok akan cukup berat, jadi kita harus dalam kondisi yang prima,” ujarku.

“Baiklah Fred. Terima kasih sudah menemaniku. Selamat malam.”

“Selamat malam Rhena.”


Pagi hari pun datang. Udara pagi yang dingin ini menusuk tulangku dan membangunkanku. Aku menatap arlojiku dalam kegelapan. Meskipun gelap, tapi aku masih bisa melihat waktu saat ini, yaitu pukul 05:10. Aku melihat cahaya api dari balik tenda. Aku keluar dari tenda untuk memeriksa api apakah itu. Ternyata Rhena, Kara, dan Aida yang membuat api itu untuk memasak. Mereka kemudian menyadari keberadaanku.

“Selamat pagi Fred!” sapa Aida dan Kara.

“Selamat pagi Fred! Ternyata kau bisa bangun pagi ya,” sapa Rhena.

“Selamat pagi semua. Udara dingin ini membangunkanku,” jawabku.

“Bersihkan dirimu di tempat pemandian umum disana,” kata Kara sambil menunjuk sebuah tempat pemandian di arah timur.

“Terima kasih atas petunjuknya,” ujarku.


Aku pergi membersihkan diriku ke tempat pemandian itu. Air di tempat ini dingin sekali, sehingga membuatku menggigil kedinginan saat menyiramkannya ke badanku. Aku membersihkan diriku dengan cepat karena tak tahan dengan rasa dingin ini. Setelah selesai aku pun mengganti pakaian dan kembali ke perkemahan. Kulihat yang lain juga sudah bangun dan bersiap membersihkan dirinya. Aida membentangkan sebuah tikar yang cukup luas di tanah. Sementara itu Rhena dan Kara menghidangkan masakan yang mereka masak bersama-sama sejak tadi pagi.

“Fred, duduklah di tikar ini. Kita tunggu yang lain selesai membersihkan diri, kemudian kita sarapan bersama!” ajak Aida.

Aku duduk di atas tikar itu dan melihat apa saja menu untuk sarapan. Ada ikan goreng saus tomat dan kentang goreng. Dari aroma masakan yang tercium aku sangat yakin semua masakan ini adalah hasil karya Rhena. Dua orang gadis lainnya mungkin hanya membantu atau sekedar memperhatikan cara sepupuku itu memasak. Kira-kira dua puluh menit setelah itu semua anggota rombongan telah duduk di atas tikar sarapan ini.

“Sebelum kita mulai pekerjaan hari ini, kita harus mengisi tenaga terlebih dahulu. Sejak semalam kita belum makan apa-apa. Untuk itu, pagi ini kita akan sarapan bersama, menikmati masakan buatan teman baru kita, Rhena Somer!” ujar Andre.

Kami mengambil piring masing-masing yang sudah terhidang makanan di atasnya. Aku menyuapkan makanan itu ke dalam mulutku. Seperti biasa, makanan ini terasa luar biasa di lidahku. Aku melihat ekspresi teman-teman lainnya. Ekspresinya bermacam-macam, tapi aku yakin kalau semua ekspresi itu memiliki arti yang sama, mereka menyukai masakan Rhena!

“Hei Somer! Ternyata kau tidak bohong kepada kami. Masakan sepupumu sangat enak!” puji Omoni.

“Aku setuju dengan Omoni. Tidak salah dia menggantikan Millie, hahaha!” tambah Andre.

“Istri Lennen tua adalah koki terbaik di dunia. Tapi hari ini Lennen tua mengakui ada koki baru yang mengalahkan istriku itu,” sambung Mark.

“Terima kasih semua!” ujar Rhena penuh kebahagiaan.


Setelah selesai sarapan, kami bersiap untuk pergi ke markas tim dokter itu. Aku menyiapkan barang-barang keperluanku, mulai dari laptop, buku catatan, kamus referensi, alat-alat tulis, dan tentunya tidak lupa kartu pers. Yang lain juga tak kalah sibuk menyiapkan kebutuhannya masing-masing. Lima belas menit kemudian semua persiapan telah beres. Kami memasuki mobil minibus 4000 cc yang di dalamnya telah bersiap Mark untuk menjalankannya. Perjalanan menuju markas dokter itu pun dimulai dengan diteriakkannya semboyan kebanggaan Mark. Kami meninggalkan bumi perkemahan itu untuk memasuki daerah pemukiman.


Kira-kira lima belas menit kemudian kami telah sampai di tempat tujuan, yaitu sebuah rumah sakit sederhana bernama Rumah Sakit As. Nama rumah sakit yang sama dengan nama desa ini sepertinya dikarenakan rumah sakit ini merupakan satu-satunya di desa ini. Keterbatasan kapasitas rumah sakit ini membuat tim dokter perlu mendirikan beberapa tenda tambahan di sekitar rumah sakit. Andre menemui pimpinan tim dokter ini. Dia adalah seorang dokter senior dari kota Grand Nirta yang bernama Caesar. Wajahnya terlihat cukup muda untuk ukuran seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun sepertinya. Kami semua memperkenalkan diri kepada Caesar. Ketika datang giliran Rhena, dia sepertinya sedikit heran.

“Gadis muda, kau mirip sekali dengan salah seorang dokter disini,” ucapnya.

“Apakah yang Anda maksud Joey Somer?” tanya Rhena.

“Benar sekali! Apakah kau saudaranya?” Caesar bertanya balik.

“Iya Pak. Aku adik kandung dari Joey Somer. Namaku Rhena Somer,” jawab Rhena.

“Kebetulan sekali, Joey saat ini sedang bekerja di tenda sebelah utara rumah sakit ini. Jika kau ingin menemuinya, silakan pergi kesana!” kata Caesar.

“Terima kasih banyak Pak!” sahut Rhena.


Setelah selesai perkenalan, Rhena mengajakku ke tenda sebelah utara. Kami mencoba melihat Joey dari luar tenda ini.

“Apa kau melihat Joey?” tanyaku kepada Rhena.

“Tidak. Ayo kita cari ke dalam!” ajak Rhena.

Kami masuk ke dalam tenda untuk melanjutkan pencarian. Tenda ini cukup ramai oleh kegiatan medis. Banyaknya dokter dan pasien disini membuat kami sedikit kesulitan menemukan Joey.

“Sepertinya ada dua orang pasien baru dari Talva yang datang kesini.”

Aku kaget mendengarkan suara yang sudah tidak asing lagi di telingaku. Sedangkan Rhena, wajahnya tampak sangat bahagia. Tanpa diperintah, kami pun menoleh ke arah suara itu berasal.

“JOEY!” teriakku dan Rhena secara bersama-sama.


to be continued


Chapter 7: The Doctor from Mountain

0 Responses