Chapter 7: The Doctor from Mountain

Untuk pertama kalinya aku melihat Joey dengan baju dokternya secara langsung. Sebelumnya dia hanya mengirimkan fotonya dengan baju itu kepadaku. Foto itu kuterima dua tahun yang lalu dengan latar rumah sakit tempat ia bekerja, Lofi Health Center. Aku pun memeluk sepupuku yang memiliki sifat bertolak belakang dengan adiknya itu.

“Joey! Kau tampak sangat gagah dengan baju ini!” pujiku.

“Tapi kau lebih hebat lagi. Hanya dengan sebuah kartu yang menggantung di lehermu itu, kau sudah terlihat sangat gagah!” puji Joey sambil menunjuk kartu persku.

Aku dan Joey tertawa bersama-sama. Rhena pun ikut tertawa.

“Ngomong-ngomong, kenapa dia bisa ada disini?” tanya Joey sambil menunjuk Rhena.

“Kau heran Kak?” sahut Rhena.

“Sebenarnya dia hanya menggantikan salah satu anggota rombonganku yang sedang ditimpa kemalangan. Lalu jika kau tanya kenapa harus dia, aku sendiri juga tidak dapat menjelaskannya,” jelasku.

“Hahaha, kau tak perlu menjelaskannya Fred. Aku sudah mengenalnya selama dua puluh tahun. Selama ini nasib baik selalu menghampiri kepolosannya,” tukas Joey.

“Apa maksudmu dengan kepolosan, Kak?” potong Rhena kesal.

“Aku justru tidak bisa melihat kepolosan itu,” komentarku.

“Hahaha, kau perlu mengenalnya lebih jauh lagi. Sudahlah, nanti saja kita lanjutkan perbincangan ini. Banyak yang harus dikerjakan sekarang,” ujar Joey.


Joey kembali melanjutkan pekerjaannya. Aku pun mengeluarkan catatan dan alat tulis. Tidak lupa kamus referensi jika nantinya aku menemukan istilah sulit dalam kegiatan ini. Aku kemudian mencari-cari informasi tentang kegiatan ini kepada dokter-dokter disini. Ternyata hal ini tidak semudah yang kubayangkan, karena selain suasana yang sesak, kebanyakan dokter disini sedang bekerja sehingga tidak ada waktu untuk memberikan informasi. Beruntung aku menemui seorang dokter yang hanya melakukan pengawasan. Namanya Awald Bied, seorang dokter muda berusia dua puluh tujuh tahun. Dia berasal dari desa As sendiri.

“Jadi Freddy Somer, kau seorang wartawan media massa terbesar di kota Talva?” tanyanya.

“Benar. Aku ditugaskan untuk membuat berita tentang kegiatan dokter disini,” jawabku.

“Baiklah, silakan kau tanya apa yang kau butuhkan untuk beritamu!” katanya.


Dari informasi yang kudapat darinya, hari ini adalah hari ketiga kegiatan dokter ini. Hari pertama adalah hari kedatangan serta persiapan, hari kedua adalah hari pengumpulan pasien, dan hari ini adalah diagnosis pasien. Informasi lain yang kudapat ternyata para pasien yang berada di tenda luar bukanlah pasien yang sedang menderita cacar, tapi pasien yang diduga terserang gejala-gejala cacar. Awald kemudian mengajakku berkeliling ke sekitar rumah sakit. Dia menunjukkan sebuah tenda di sebelah timur. Tenda itu adalah tempat pendataan pasien yang masih akan terus bertambah. Kemudian ia mengajakku memasuki bangunan rumah sakit. Rumah sakit ini memang sangat sederhana jika dibandingkan dengan rumah sakit di kota-kota besar, tapi cukup megah untuk desa di lereng gunung seperti ini. Di dalam bangunan ini tidak banyak dokter yang terlihat. Awald menjelaskan dokter-dokter bertugas di dalam kamar rawat, sehingga tidak terlihat di lorong rumah sakit. Setelah puas melihat-lihat, Awald mengajakku keluar dari bangunan rumah sakit itu.

“Demikian sedikit informasi yang bisa kuberikan padamu untuk saat ini. Setelah kami mendapatkan perkembangan dari hasil diagnosis, aku akan memberitahumu sesegera mungkin,” ujar Awald.

“Terima kasih banyak, Awald,” ujarku.

“Oh ya, aku ingin mengundangmu ke rumahku nanti sore. Aku tinggal sekitar satu kilometer dari rumah sakit ini bersama nenekku. Ajak juga kedua orang sepupumu itu!” ajaknya.

“Terima kasih sekali lagi, Awald,” ujarku.


Banyak hal baru yang kudapatkan hari ini. Mulai dari mengenal berbagai istilah tentang kedokteran, menyaksikan aktivitas medis yang begitu ramai, sampai harus berbaur dengan aroma obat-obatan dan tubuh pasien penderita cacar. Teman-temanku yang lain sepertinya tidak mau kalah denganku. Wilden berusaha mendapatkan sebanyak mungkin foto-foto terbaik tentang kegiatan ini. Javier, Kara, dan Omoni masing-masing menulis artikel tentang sudut pandang sosial, ekonomi, dan medis dalam kegiatan ini. Aida mulai mempersiapkan laporan kegiatan kami secara keseluruhan hari ini. Andre mengawasi kegiatan kami sambil berbagi cerita dengan Caesar dan Mark. Sempat kuperhatikan ia mengajak Javier dan Omoni untuk ikut bersamanya dan Mark ke bumi perkemahan. Mereka kembali dengan membawa tenda-tenda yang telah kami dirikan semalam. Ternyata mereka mendapat izin untuk mendirikan tenda-tenda itu di daerah ini, sehingga kami bisa memperhatikan tim dokter ini lebih dekat lagi. Satu orang yang belum kuperhatikan sejak tadi adalah Rhena. Aku mencoba menerka keberadaannya. Entah kenapa pikiranku tertuju ke dapur rumah sakit. Aku pergi kesana dan ternyata tebakanku benar. Dia tampak sedang serius mempelajari resep makanan yang disediakan khusus untuk orang sakit.


Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 14:22. Aku masih menunggu kelanjutan informasi dari Awald. Aku mencoba mencarinya di tenda utara. Cukup mudah untuk menemukan dokter muda ini.

“Awald, sudah adakah informasi tambahan?” tanyaku.

“Maaf Fred, aku membuatmu menunggu cukup lama. Kami sudah melakukan diagnosis terhadap penyakit pasien-pasien ini. Tapi sepertinya kau harus menunggu sampai besok pagi untuk mendapatkan hasilnya,” sesalnya.

“Oh baiklah, tidak apa-apa,” kataku.

Aku mencari tempat yang cukup nyaman untuk mulai menulis. Aku menemukan sebuah meja yang terletak di luar bangunan rumah sakit. Sepertinya tempat ini cukup nyaman dan memberikan inspirasi yang baik untukku. Kukeluarkan laptopku dan catatan yang berisi informasi yang diberikan Awald tadi.

“Baiklah Cleo. Aku akan mempraktekkan apa yang telah kau ajarkan kepadaku!” seruku dalam hati.


Aku mulai merangkai huruf demi huruf menjadi sebuah kata, merangkai kata demi kata menjadi sebuah kalimat, merangkai kalimat demi kalimat menjadi sebuah paragraf, dan merangkai paragraf demi paragraf menjadi sebuah laporan yang utuh. Aku pun memperhatikan kembali apa yang aku tulis itu. Beberapa koreksi kulakukan sendiri, sesuai dengan yang diajarkan Cleo kepadaku. Akhirnya berita yang benar-benar kutulis sendiri telah selesai, dengan judul “Diagnosis Pasien”. Aku tersenyum puas melihat karya itu. Tiba-tiba aku teringat Cleo. Lebih tepatnya, aku teringat kejadian saat SMA yang membuatku menjadi akrab dengannya. Ingatanku itu akhirnya dibuyarkan oleh teriakan Andre.

“Fred, beritamu sudah selesai?” tanyanya dari kejauhan.

“Sudah, aku tinggal mengirimkannya ke redaksi,” jawabku.

Aku mengirimkan tulisanku itu ke email redaksi. Meskipun berada di lereng gunung, tapi sinyal GPRS cukup kuat disini. Tulisanku terkirim dengan cepat, tanpa terjadi gangguan koneksi.


Sekarang sudah pukul 17:04. Aku teringat dengan undangan Awald tadi. Segera kucari dan kuajak Rhena yang telah selesai menyiapkan makan malam untuk rombongan. Aku juga mengajak Joey yang sudah selesai dengan pekerjaannya. Kami meminta izin kepada pimpinan masing-masing untuk berkunjung ke rumah Awald. Kemudian bersama dengan Awald, kami pergi ke rumahnya yang memang tidak terlalu jauh dari rumah sakit. Jalanan ke rumah Awald dipenuhi berbagai pendakian, sebagai ciri-ciri dari desa di lereng gunung. Kami sampai di rumahnya pukul 17:22. Di serambi rumah itu kami disambut seorang wanita tua yang duduk di kursi rotan.

“Selamat datang cucuku. Apakah mereka teman-temanmu?” tanya wanita itu.

“Benar Nek. Mereka adalah teman-teman baruku. Dokter ini bernama Joey. Wartawan ini bernama Freddy. Sedangkan gadis ini bernama Rhena. Mereka semua satu keluarga, yaitu keluarga Somer,” jelas Awald sambil memperkenalkan kami.

“Silakan duduk, teman-teman cucuku,” ajak nenek itu.

“Aku akan mengambilkan minum untuk kalian,” ujar Awald.

Kami bertiga pun duduk di kursi-kursi rotan di serambi rumah itu.

“Oh ya, aku hampir lupa memperkenalkan diriku. Namaku Emma Yuebala. Saat ini aku sudah berusia tujuh puluh lima tahun,” ucap nenek itu.

“Senang berkenalan dengan Nenek,” kata Joey mewakili kami semua.

“Ngomong-ngomong, Nenek hanya tinggal berdua dengan Awald?” tanyaku.

“Begitulah keadaannya. Suamiku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Anak-anakku termasuk ayah Awald dan keluarganya memilih tinggal di kota lain. Hanya Awald yang menemaniku, karena ia ingin mengabdi di desa ini sebagai dokter,” jawab Emma.

“Sepertinya dia pemuda yang berbakti kepada kampung halamannya,” gumam Rhena.


Beberapa saat kemudian Awald datang menyajikan teh hangat dan kue-kue kecil. Setelah itu ia kembali masuk ke dalam rumah untuk mandi. Di saat kami sedang menikmati makanan dan minuman itu, Emma kembali memulai pembicaraannya.

“Hei Nak, apa kau ingin mengetahui sesuatu tentang gunung ini?” tawar Emma.

“Sesuatu apa Nek?” jawab Rhena penasaran.

Wanita itu meneguk teh di cangkirnya sebelum memulai cerita. Setelah itu ia meletakkan kembali cangkir itu di atas piring cangkir di meja. Dia menghela nafas panjang, dan mulai berbicara.

“Kau harus selalu berhati-hati di gunung ini, karena GUNUNG INI DIHUNI OLEH MANUSIA-MANUSIA BURUNG YANG AKAN MENANGKAPMU JIKA MEREKA MENEMUKANMU!”


to be continued


Chapter 8: Goma's Myth

0 Responses