Chapter 4: The Great Amateur Chef

Cleo menatapku setelah mendengar ucapan itu. Aku bisa membaca dari ekspresinya bahwa dia memiliki sejumlah pertanyaan.

“Benarkah Fred? Apa saja tugasmu disana?” tanyanya.

“Aku harus memberitakan kegiatan tim dokter yang menangani wabah cacar yang berjangkit di salah satu desa di gunung itu. Setiap hari sampai kegiatan itu selesai,” jawabku.

“Kau dengan editor lain?” tanyanya lagi.

“Tidak juga. Aku harus menyelesaikan semua berita dengan cepat setiap hari. Karena itu, kali ini aku tidak memakai editor,” jawabku.

“Jadi, kau langsung mengirim apa yang kau tulis ke redaksi, dan benar-benar itulah yang akan diterbitkan?”

“Tepat sekali Cleo.”

“Semoga kau berhasil Fred. Aku percaya padamu, karena kuperhatikan dari hari ke hari kemampuan menulismu semakin baik,” ungkapnya.

“Aku masih butuh bantuanmu. Kaulah orang yang paling tahu kelemahanku dalam menulis. Aku ingin kau memberitahuku tentang kelemahan itu dan mengajariku yang sesungguhnya!”

Suasana menjadi hening. Kami saling berpandangan. Kemudian Cleo memecah suasana.

“Baiklah sahabatku! Aku akan mengajarimu untuk menjadi editor bagi dirimu sendiri!” katanya mantap.

“Terima kasih sahabatku,” jawabku sambil tersenyum.


Cleo mengajariku sampai pukul 18:00. Aku tidak bisa terlalu lama, karena aku harus menyiapkan keperluan untuk berangkat keesokan harinya. Pukul 18:30 aku sampai di apartemen. Aku mengetuk pintu kamar. Rhena pun membukakan pintu itu.

“Selamat malam Fred!” sambut Rhena.

“Selamat malam Rhena,” jawabku.

“Kau kelihatannya sedikit lelah,” katanya.

“Biasanya aku juga seperti ini,” kataku singkat.

“Mandilah dulu, lalu makan malam. Aku sudah menyiapkan makan malam,” ujarnya.

“Terima kasih Rhena.”


Aku segera menuju ke kamar mandi. Setelah mandi, aku langsung makan malam bersamanya. Kali ini ia memasak cumi goreng saus tiram. Rasanya sungguh luar biasa lezat. Aku sendiri heran bagaimana sepupuku ini begitu hebat dalam dunia kuliner.

“Rhena, siapa yang mengajarimu memasak?” tanyaku.

“Tentu saja ibuku,” jawabnya.

“Walaupun sudah sangat lama, tapi aku masih ingat rasa masakan ibumu. Masakanmu jauh lebih enak dibandingkan masakan ibumu. Apakah ada orang lain yang mengajarimu?”

“Tidak juga. Setelah ibuku meninggal, aku menggantikan semua tugasnya. Sepuluh tahun menjadi juru dapur keluarga mendorongku untuk mempelajari sendiri bagaimana cara menghasilkan makanan yang lebih baik.”

“Apa karena itu juga kau terbiasa bangun pagi?” tanyaku lagi.

“Iya,” jawabnya sambil tersenyum.

Dalam hati aku mengutuk-ngutuk Joey, karena dia tak pernah memberitahuku kalau adiknya adalah seorang koki amatir yang hebat.

“Mungkin lebih baik kau jadi koki saja daripada jadi wartawan,” celotehku.

Dia hanya tertawa kecil mendengar celotehan itu.


Saat ini pukul 20:41. Aku mulai mengemas barang-barang yang akan kubawa besok. Rhena terlihat heran dengan aktivitasku.

“Fred, kenapa kau mengemas barang-barangmu?” tanyanya.

Aku baru ingat kalau aku belum memberitahunya tentang tugasku.

“Rhena, aku hampir lupa memberitahumu tentang hal ini. Maafkan aku, tapi aku harus meninggalkanmu selama beberapa hari mulai besok,” jawabku.

“Kau mau kemana?”

“Aku…, akan pergi ke gunung Goma.”

“Kau ingin menemui Joey?”

“Ini pekerjaan dari redaksi. Aku diperintahkan untuk menulis berita tentang kegiatan tim dokter disana,” ungkapku.

Untuk memperkuat ucapanku, aku memperlihatkan surat tugas dari kantor. Disana tertulis nama, jabatan, dan tugas di lapangan nantinya. Raut wajahnya berubah. Sepertinya dia tidak puas.

“Fred! Aku ingin ikut!” pintanya.

“Rhena! Ini bukan acara piknik atau berkemah! Ini tugas dari kantorku!” tegasku.

“Jadi kau tidak mau mengajakku?”

“Maafkan aku. Ini masalah profesionalitas.”

“Ya sudah. Tidak apa-apa,” jawabnya singkat.

“Kau yakin?” tanyaku.

“Iya. Aku bisa tinggal sendirian disini selama beberapa hari kok,” katanya cuek.

Dalam hati aku merasa lega dengan ucapannya. Untunglah kali ini dia tidak keras kepala. Tidak terbayangkan olehku kalau dia tetap memberontak dan memaksa diri untuk tetap ikut.


Keesokan harinya ia kembali membangunkanku pukul 04:30. Kali ini ia menyiapkan ayam goreng untuk sarapan. Dengan lahapnya aku menikmati menu sarapan buatannya itu. Satu hal yang kuperhatikan dari wajahnya pagi ini, dia kelihatannya masih mengantuk.

“Hei, kau terlambat tidur ya?” tanyaku.

“Begitulah. Sepertinya kau memang cukup cerdas untuk membaca raut wajah ya,” katanya.

“Apa yang kau lakukan semalam?” tanyaku lagi.

“Tidak ada. Aku hanya terserang insomnia semalam,” jawabnya.

“Apa kau masih belum puas karena tidak bisa ikut?”

“Mungkin saja. Tapi aku tidak terlalu kecewa kok.”


Setelah sarapan, aku bersiap untuk pergi. Kutitipkan apartemenku kepada Rhena. Dia kemudian mengantarku sampai pintu utama apartemen.

“Jalankan tugasmu dengan baik!” kata Rhena.

“Kau juga. Jaga dirimu baik-baik!” sahutku.

Aku menaiki bis jurusan Talva Square, kawasan dimana kantorku berada. Saat aku sampai di kantor, beberapa orang dari rombonganku telah berkumpul. Mereka adalah Andre, Wilden, Aida, dan Javier. Andre adalah pemimpin rombongan ini. Dia langsung menyambutku saat melihat batang hidungku.

“Hei Fred! Kau nomor lima!” teriaknya dari kejauhan.

“Nomor lima apa?” tanyaku sambil berteriak.

“Kau nomor lima yang datang!” jawabnya masih dengan berteriak.

Aku menghampiri mereka semua. Wajah mereka belum terlalu bosan, menandakan mereka masih belum lama berkumpul.

“Kita tinggal menunggu Kara, Omoni, dan Millie,” kata Andre.

“Aku sudah mendapat pesan dari Kara. Dia akan sampai sekitar lima menit lagi,” ujar Aida.

“Omoni juga mengirimku pesan. Dia akan sampai sekitar sepuluh menit lagi,” tambah Javier.

“Ada yang sudah mendapat pesan dari Millie?” tanya Andre.

Tak ada seorang pun di dalam rombongan yang menjawab.

“Kesimpulannya, memang belum ada kabar dari Millie,” ujar Andre.


Tak lama kami menunggu, Kara dan Omoni pun datang. Tapi masih belum ada kabar dari Millie.

“Wilden, coba kau hubungi Millie!” perintah Andre.

“Tidak usah, Andre. Aku sudah mendapat kabar dari Millie,” potong Kara.

“Apa katanya?” tanya Andre.

“Dia tidak bisa ikut bersama kita. Ayahnya meninggal dunia pagi ini,” jawab Kara.

Kami semua terdiam. Tidak mungkin kami membatalkan pekerjaan ini. Tapi tidak mungkin juga kami pergi tanpa Millie, karena Millie memegang tugas yang penting dalam pekerjaan ini.

“Apa yang harus kita lakukan, Andre?” tanya Aida.

“Entahlah. Adakah yang punya solusi?” tanya Andre bingung.

Kami terdiam. Kemudian aku angkat bicara.

“Satu-satunya solusi hanyalah mencari pengganti Millie sekarang juga,” kataku.

“Tidak mudah mencari pengganti Millie. Aku yakin tidak ada seorang pun karyawan yang bersiap untuk pergi sekarang juga,” sesal Andre.

“AKU SIAP!”

Kami terkejut mendengar suara itu. Sepertinya itu berasal dari seseorang yang bersembunyi di balik deretan mobil di tempat parkir. Mungkin dia sudah memperhatikan kami secara diam-diam sejak tadi.

“Benarkah? Siapa kau? Tunjukkan dirimu!” teriak Andre.

Orang itu keluar dari persembunyiannya. Aku sangat kaget ketika menyadari siapa dirinya.

“Kau…,” ucapku dengan suara tertahan.

“Aku akan menggantikan Millie Flintwich! Percaya padaku!” katanya sambil tersenyum.


to be continued


Chapter 5: Young Spirit in Old Body

0 Responses