Chapter 14: 300 Years Ago

Askoriwimi, 1710

Butiran-butiran keringat menetes dari wajah pemuda yang sedang bekerja keras di ladang gandum itu. Dinginnya suhu udara Goma belum cukup untuk menetralkan panasnya suhu tubuh yang diakibatkan oleh bekerja. Pemuda ulet itu bernama Nio. Kesehariannya di ladang gandum milik keluarganya itu telah menjadikannya seorang pekerja keras yang hampir tidak mengenal rasa lelah. Dia hanya beristirahat ketika matahari telah memancarkan panas tepat di atas kepalanya. Sejak ayahnya meninggal dunia lima tahun yang lalu, dia harus menggantikan pekerjaan ayahnya untuk menghidupi ibu, dua orang adik, dan neneknya yang sudah tua renta.

“Hei Nio, aku membawa kabar gembira untukmu!” seruku.

Nio melirik orang yang tidak lain adalah aku sendiri. Namaku Fea Edu, seorang Vog, atau yang biasa dikenal sebagai manusia burung oleh orang awam. Usiaku sebaya dengan Nio. Kami sudah berteman akrab selama tujuh tahun. Saat itu manusia dan Vog hidup bersama dengan tentram. Perbedaan ras tidak dijadikan sebagai alasan mereka untuk berpecah ataupun saling menjatuhkan.

“Kabar apa itu?” tanya Nio.

“Keluarga Tifa mengundangmu makan malam di rumah mereka pukul tujuh malam ini,” jawabku.

“Kau tidak bercanda kan?” sahut Nio tidak percaya.

“Sejak kapan aku berbohong kepadamu? Ini kesempatan baik bagimu untuk mengambil hati orangtuanya!” seruku.


Nio terlihat sangat senang mendengar undangan itu. Semua keletihan yang dirasakannya seperti tenggelam di dalam lautan tak berdasar. Tifa adalah gadis yang dicintai Nio sejak tiga tahun yang lalu. Walaupun mereka sudah saling mengenal cukup lama, tetapi belum pernah sekalipun Nio mengungkapkan perasaannya itu. Tifa sendiri sepertinya juga mencintai Nio, tetapi juga tidak pernah mengungkapkan hal itu kepadanya. Keluarga mereka juga dekat satu sama lain. Akan tetapi, inilah pertama kali keluarga Tifa memberikan undangan makan malam yang spesial untuk Nio. Tentu saja Nio tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Bagaikan seorang nelayan, inilah saatnya untuk menangkap ikan larangan di laut yang buas yang mana belum seorang pun yang pernah menangkap ikan itu.

“Terima kasih Fea, aku merasa berhutang budi kepadamu!” ujar Nio.

“Tidak masalah Nio. Aku turut bahagia jika sahabatku bahagia.”


Aku terbang meninggalkan Nio yang sedang berbahagia di bawah teriknya matahari saat itu. Sebenarnya aku ingin menemaninya nanti malam, tapi sayangnya malam ini aku harus mengontrol keamanan di Askoriwimi. Lima belas Vog penjaga keamanan Askoriwimi yang bertugas malam ini adalah tanggungjawabku. Semua Vog penjaga keamanan Askoriwimi tergabung di dalam sebuah organisasi yang bernama AVRO, yang merupakan singkatan dari Askoriwimi Vog Ranger Organization. Jabatanku di Vog adalah sebagai kepala bidang hubungan masyarakat. Sebuah jabatan yang sebenarnya cukup tinggi bagi pemuda berusia dua puluh tujuh tahun sepertiku.


Setelah terbang sekitar sepuluh menit, aku sampai di sekretariat AVRO. Sekretariat kami hanya sebuah bangunan kecil yang dikelilingi oleh hijaunya pepohonan. Anggota AVRO lebih suka menghabiskan waktunya di pepohonan daripada hanya duduk termenung di dalam sekretariat sempit itu. Pada saat aku sampai itu, kulihat wajah teman-temanku cukup tegang. Sebenarnya wajah tegang itu adalah pemandangan yang biasa bagi kami. Tapi kali ini sepertinya ada hal yang belum biasa, sehingga ketegangan yang kulihat itu juga belum biasa.

“Hei, ada apa?” tanyaku.

Gudi Pam, ketua AVRO yang berusia tiga puluh lima tahun melirik kepadaku yang baru datang. Sorot matanya yang biasanya tenang kali ini dicampuri oleh aura negatif.

“Ada surat aneh yang ditujukan kepada kita,” kata Gudi.

“Surat? Aku baru meninggalkan sekretariat dua jam yang lalu. Berarti surat itu baru masuk kan?” tanyaku.

“Surat ini baru datang lima menit yang lalu. Yang mengantarkan pun seekor burung merpati pos. Coba kau periksa surat ini,” pinta Gudi.

Aku mengambil surat itu dari Gudi. Bukan sebuah surat resmi, hanya selembar kertas biasa yang ditulis dengan tulisan tangan yang boleh dibilang tidak terlalu bagus. Tidak ada identitas sedikitpun dari pengirim surat itu. Hanya sebuah surat kaleng.

Kami sudah sampai di gunung Goma. Surat berikutnya dua jam lagi.”

“Apa kau mengerti maksudnya?” tanya Gudi.

“Entahlah, surat ini sangat misterius. Kita tunggu saja dua jam lagi. Jika benar ada surat berikutnya, maka kita perlu waspada dengan surat ini. Aku memiliki firasat buruk,” ujarku.


Satu jam kemudian, aku menerima surat masuk lagi. Pengirim surat ini adalah pemerintah Askoriwimi. Aku membaca isi surat tersebut. Setelah membaca surat itu sampai selesai, aku tahu bahwa aku harus segera melaporkan isi surat itu kepada Gudi. Segera aku pergi ke ruangan Gudi untuk menemuinya.

“Pak, aku menerima surat dari pemerintah!” seruku.

“Apa isinya?” tanya Gudi.

“Pemerintah juga mendapatkan surat misterius itu. Isinya sama persis.”

“Pemerintah juga mendapatkan surat itu? Sepertinya si pengirim cukup mengetahui seluk beluk Askoriwimi.”

“Aku juga berpikiran sama denganmu Pak. Kemungkinan besar pengirim surat ini adalah penduduk Askoriwimi,” ujarku.

“Baiklah, terima kasih atas laporanmu. Sesuai dengan isi surat itu, seharusnya satu jam lagi surat kedua akan datang. Segera beritahu jika kau telah mendapatkan surat itu!” perintah Gudi.

“Baik Pak!”


Si pengirim surat ternyata tidak main-main dengan ucapannya, karena terbukti satu jam setelah itu surat kaleng kedua datang. Aku segera melaporkannya kepada Gudi. Sebuah instruksi untuk berkumpul di halaman sekretariat langsung diberikan oleh Gudi. Karena kami tidak memiliki ruangan khusus untuk mengadakan pertemuan, maka halaman sekretariat yang cukup luas dijadikan sebagai alternatif ruang pertemuan anggota AVRO. Setelah kami semua berkumpul di halaman, Gudi membacakan isi surat kedua itu kepada kami semua.

Askoriwimi, satu-satunya desa di gunung Goma. Surat berikutnya dua jam lagi.”

Para anggota mulai berbisik satu sama lain. Beberapa dugaan tentang makna surat itu muncul. Suasana yang mulai ribut itu diheningkan oleh suara lantang dari Gudi.

“Jangan hanya berbisik seperti kalian tidak punya kekuatan! Jika kalian punya pendapat tentang arti surat ini, utarakanlah sekarang!” ucap Gudi tegas.

Seorang Vog mengangkat tangannya. Dia adalah Letu Rir, anggota hubungan masyarakat yang dikenal memiliki analisis yang hebat dalam memecahkan kode-kode rahasia.

“Menurutku, surat pertama dan surat kedua memiliki hubungan yang cukup jelas, yaitu sang pengirim surat ingin mendatangi Askoriwimi. Hal ini diperkuat oleh datangnya surat yang sama kepada pemerintah Askoriwimi. Lalu jika ditinjau pada surat pertama, sang pengirim surat menggunakan kata kami. Berarti sang pengirim surat bukan satu orang. Bisa jadi dua orang, tiga orang, atau bahkan satu rombongan yang cukup banyak,” jelasnya.

Semua yang ada di pertemuan itu terlihat cukup setuju dan menerima analisis dari Letu.

“Akan tetapi, hal yang belum jelas dari sang pengirim adalah tujuannya ke Askoriwimi. Dugaan sementara, karena surat ini ditujukan kepada pemerintah dan juga kepada kita sebagai pihak penjaga keamanan Askoriwimi, maka sepertinya sang pengirim surat ini memiliki tujuan yang buruk. Meskipun pada dua surat pertama selalu disebutkan bahwa surat berikutnya akan datang dua jam lagi, tapi bisa saja pada surat ketiga sang pengirim mengatakan bahwa surat berikutnya akan datang satu menit lagi. Jadi kita harus waspada terhadap ancaman keamanan yang mungkin saja bisa datang secara tiba-tiba,” sambung Letu.

Suasana menjadi semakin tegang. Gudi segera memberikan sebuah instruksi kepada semua anggota.

“Aku minta kepada semua anggota, terutama yang piket malam ini untuk mempersiapkan fisik dan mental dari sekarang! Tidak tertutup kemungkinan bahwa kita akan berperang malam ini!” perintah Gudi.


Surat ketiga yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga tepat dua jam setelah surat kedua datang. Gudi kembali menginstruksikan kami semua untuk berkumpul, tapi kali ini suasana wajahnya jauh lebih serius. Gudi segera membuka pertemuan ini setelah semua anggota berkumpul dengan lengkap.

“Bagi kalian yang merasa tidak kuat mental, harap tinggalkan pertemuan ini.”

Tidak ada seorang pun dari peserta pertemuan yang meninggalkan tempat duduknya. Mungkin ada di antara mereka yang sedikit ciut, tapi rasa penasaran mereka terhadap surat ketiga mengalahkan rasa ketakutan itu.

“Berarti kalian semua siap untuk mendengarkan isi surat ketiga yang ditulis dengan darah ini.”

Beberapa orang tampak kaget begitu mendengar bahwa surat kaleng itu ditulis dengan darah.

“Kami menulis surat ini dengan darah para penggali terowongan bawah tanah yang kami bunuh di hutan raya Askoriwimi. Kami akan menghancurkan Askoriwimi lama dan akan menggantinya dengan Askoriwimi baru. Serangan akan kami mulai lima belas menit lagi!”


to be continued


Chapter 15: Zombie Attack