Chapter 1: The Cousin

Aku melangkah menuju meja kerjaku. Kupandangi berkas-berkas yang berantakan di meja itu. Berdiskusi dengan teman-teman ternyata membuatku lupa kalau aku belum merapikan berkas-berkas itu. Tanpa basa-basi, aku pun duduk dan merapikan berkas-berkas tersebut. Sebagian besar dari berkas itu adalah berita-berita yang kutulis sendiri, walaupun ada juga berkas-berkas yang berisi surat-surat aneh yang tidak diketahui pengarangnya. Berkas-berkas ini adalah benda yang selalu menemaniku dalam pekerjaan. Aku akan selalu berurusan dengan berkas-berkas ini, dengan isi yang berbeda-beda setiap harinya. Sekitar sepuluh menit kemudian aku selesai merapikan berkas-berkasku. Kuambil cangkir berisi teh yang dari tadi masih tertutup di mejaku. Seteguk teh cukup untuk melepas dahaga setelah mengerjakan dan merapikan semua berita ini.

“Fred, beritamu sudah selesai?”

Sebuah suara yang berat terdengar dari samping kananku. Aku dapat mengenali suara itu dengan baik, karena setiap hari kerja dia selalu menanyakan hal yang sama kepadaku.

“Sudah, kau dapat menyerahkannya kepada Cleo sekarang,” jawabku.

“Sepertinya hari ini kau membuat berita lebih banyak dari biasanya. Apakah begitu banyak hal menarik yang kau dapatkan hari ini?”

“Tidak juga, aku hanya sedang bersemangat menulis hari ini. Kupikir sesekali memanjangkan berita bukanlah hal yang salah.”

“Baguslah, aku pergi dulu ke meja editor.”

Tidak sampai lima detik setelah itu, aku memanggilnya kembali.

“Hei Jammy, tunggu dulu!” sahutku.

“Ada apa lagi Fred?” tanyanya.

“…, tidak jadi. Pergilah ke meja Cleo.”

“Hah, kau aneh,” katanya mengejekku.


Aku bangkit dari dudukku untuk membereskan perlengkapanku. Alat-alat tulis, agenda, catatan kecil, laptop, dan barang-barang lain kumasukkan ke dalam tas. Tapi aku menyadari kalau aku melupakan satu hal penting, kartu pers. Kartu pers atas nama Freddy Somer. Kartu itu kudapatkan dua tahun yang lalu. Saat itu aku hanyalah seorang pemuda biasa yang mencoba mengadu nasib untuk melamar menjadi seorang wartawan di Talva Times, perusahaan media massa terbesar di kota ini. Entah keajaiban apa yang datang kepadaku, aku diterima sebagai wartawan Talva Times. Awalnya aku bingung, masih banyak calon wartawan di kota Talva yang lebih berbakat daripada aku. Tapi kenapa aku yang terpilih? Ya, aku sebenarnya tidak begitu peduli dengan hal itu. Kuanggap saja memang takdirku untuk bisa bekerja disini.


Aku keluar dari kantor Talva Times. Aku melirik arloji berwarna perak di tangan kiriku. Saat ini adalah pukul 19:00. Tiba-tiba aku teringat bahwa hari ini sepupuku akan berkunjung ke apartemenku.

“Kalau aku pulang terlalu larut, bisa-bisa dia malah ketiduran di depan apartemen,” gumamku dalam hati.

Kuputuskan untuk segera pulang. Sebenarnya aku ingin pergi makan dulu ke sebuah Nata di dekat kantorku. Nata adalah warung-warung kecil yang menjual makanan di pinggir jalan, seperti ramen, burger, sup kentang, atau makanan-makanan lainnya. Nata dapat ditemui hampir di setiap penjuru kota Talva. Biasanya para pedagang Nata akan membuka dagangannya mulai dari pukul 18:00 sampai larut malam. Kebanyakan dari para pedagang itu menutup dagangannya pada pukul 3:00 pagi. Nata menjadi sasaran bagi warga Talva yang menginginkan jajanan malam. Harga makanan yang murah menjadi senjata utama bagi para pedagang Nata.


Aku menunggu sebuah bis jurusan Greenwater di halte kantorku. Tidak lama setelah itu bis pun datang. Aku segera memasuki bis itu. Kuperhatikan tidak banyak orang yang ada di dalam bis. Aku bisa mengambil tempat duduk yang cukup nyaman, di dekat jendela. Melihat-lihat keindahan kota Talva di malam hari memang sangat menyenangkan, terutama bagi seorang wartawan sepertiku. Perjalanan dari kantor menuju apartemenku, Greenwater Apartment, membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit. Dan selama dua puluh menit itulah aku dapat menikmati pemandangan malam kota Talva melalui sebuah jendela bis.


Aku sampai di apartemenku. Kuperhatikan sekeliling, tapi aku tidak melihat sepupuku itu. Rasanya sedikit janggal, sebab biasanya ia akan menungguku meskipun harus tidur di depan pintu kamarku.

“HAAAAAAAAIII FREEEEEEEDDD!”

Aku kaget mendengar suara itu. Aku membalikkan badan untuk melihat siapakah orang itu. Tiba-tiba aku melihat sesosok gadis yang berlari menghampiriku, dan memelukku.

“APA KABAR FRED? KAU KAGET KAN? HAHAHA!”

“Hei, apa-apaan ini! Lepaskan aku!” geramku.

“Hahaha, aku senang bertemu denganmu kembali! Aku rindu padamu, Fred!”

Dia melepaskan pelukannya sambil tetap tertawa. Aku mengambil nafasku yang tertahan karena pelukan tadi, sambil memasang tampang jengkel.

“Huh, siapa yang menyuruhmu kesini? Dimana Joey?” tanyaku, dengan sedikit menggeram.

“Hahaha, tenang Fred. Tak usah marah-marah. Joey pergi untuk sebuah pekerjaan. Daripada membuat kau kecewa, makanya dia menyuruhku untuk menggantikannya,” jawabnya santai.

“Aku tidak yakin dengan ucapanmu,” tukasku.

“Hahaha, kau memang hebat Fred. Sebenarnya aku sendiri yang mengusulkan agar Joey menyuruhku menggantikannya, dan dia setuju.”

“Dasar kau,” kataku jengkel.


Gadis itu bernama Rhena. Dia adalah adik kandung dari Joey, sepupuku. Dengan kata lain, dia juga sepupuku. Usianya empat tahun lebih muda dariku. Dia tinggal di kota Roro bersama dengan Joey dan Alex, ayahnya sekaligus pamanku. Sebenarnya dia gadis yang baik, tapi dia sangat atraktif. Tingkahnya yang terlalu atraktif sering membuatnya melakukan kecerobohan yang berujung pada masalah. Dia selalu menjalani hari-harinya dengan keceriaan, dan sangat jarang dia terlihat bersedih. Aku terakhir kali bertemu dengannya tiga tahun yang lalu, saat keluarga besarku berkumpul.


“Hei Fred, ayo buka pintu kamarmu. Aku harus meletakkan barang-barangku,” ujarnya.

“Kau mau meletakkan barang-barangmu di kamarku?” tanyaku bingung.

“Iya Fred! Memangnya aku mau tidur dimana lagi kalau bukan di kamarmu?”

“APA?”

“Tak usah berlagak bodoh Fred. Lagipula kau kan saudaraku, tidak terlalu masalah kan?” sahutnya.

“Tapi…,”

“Sudahlah, aku tak akan tidur di atas tempat tidurmu kok. Di lantai pun aku bisa tidur, jadi kau tak perlu khawatir,” jawabnya.

Aku hanya terdiam, tapi aku kasihan juga melihatnya. Meskipun dia kelihatannya begitu, tapi aku yakin dia sebenarnya sangat lelah. Aku buka pintu kamarku, dan aku menolongnya memasukkan barang-barangnya.


Semua barang-barangnya telah masuk. Terlihat kepuasan di wajahnya, seolah-olah sudah berhasil memerintahku. Dia pun duduk di atas tempat tidurku, sepertinya dia sedang melepas rasa lelah.

“Hei Fred, kau tahu kan saat ini di Colter ada pasar malam?”

“Ya, memangnya kenapa?”

“Sebagai sepupu, aku ingin kau mengajakku kesana sekarang.”

Aku kaget mendengar kalimat itu. Tidakkah orang ini ingin beristirahat dulu? Kenapa dia malah ingin pergi ke pasar malam?

“Hei, bagaimana?” tanyanya tak sabar.

“Hem, boleh. Tapi hanya sekedar lihat-lihat kan?”

“Tentu tidak Fred! Apa gunanya banyak permainan di pasar malam kalau tidak untuk dimainkan?”

Nyaliku menciut. Kenapa ada wanita seatraktif ini di dunia?

“Kau tidak punya uang? Tenang saja, aku tidak akan membebanimu. Aku punya uang kok.”

“Oh, tidak usah. Pakai uangku saja. Ayo, kita pergi,” jawabku, setengah terpaksa.

“Hoooreeee! Itu baru namanya sepupu yang baik! Ayo Fred, kita pergi!” sahutnya girang.


Dia segera berlari ke luar. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya. Tanpa mengubah penampilan, aku pun mengikutinya keluar dari kamar. Kukunci pintu kamarku, dan segera mengejarnya yang ternyata sudah berlari cukup jauh. Ya, malam ini akan kuhabiskan bersama sepupuku yang cukup menjengkelkan, di pasar malam di kawasan Colter.


to be continued


Chapter 2: Journalist at the Fair

0 Responses