Chapter 3: She Wakes Up Early Morning

Aku menatap gadis berusia dua puluh tahun itu. Terlihat kesedihan yang mendalam pada wajahnya. Wajah yang selama ini selalu ceria akhirnya luluh juga. Kali ini dia terlihat seperti gadis lain kebanyakan. Dia menangis, meluapkan emosi dan rasa rindunya. Aku yakin dia merindukan ibunya karena melihat kejadian barusan.

“Rhena…,” ujarku, berusaha menenangkannya.

Dia tidak menyahut. Yang bisa kudengar hanyalah isakan dengan suara yang begitu lirih.

“Rhena, maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu mengingat hal itu lagi.”

“Kau tidak salah Fred,” ucapnya lirih.

Aku hanya bisa terdiam. Menghibur seseorang yang sedang bersedih bukanlah keahlianku.

“Menangislah sampai kau merasa cukup tenang, Rhena.”


Julie, itulah nama ibu dari sepupuku ini. Dia merupakan tipe ibu yang luar biasa. Aku bilang begitu karena dia begitu sabar menghadapi anak seperti Rhena. Julie telah meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu akibat kecelakaan lalu lintas. Joey pernah bercerita kepadaku tentang kesedihan Rhena saat tahu ibunya telah tiada. Dia mengurung dirinya sendirian di kamar dan tidak berhenti menangis. Joey dan paman Alex sempat dibuat panik karena Rhena tidak mau keluar kamar untuk makan. Tapi ia bukanlah tipe orang yang pemurung. Keesokan harinya ia keluar kamar dengan wajah yang ceria. Tanpa pikir panjang, paman Alex langsung menyuruhnya untuk makan. Dia makan dengan begitu lahap, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu padanya, atau mungkin karena dia memang kelaparan.


“Fred…,” suaranya menyadarkanku dari lamunan.

“Iya Rhena?”

“Aku baik-baik saja. Ayo kita pulang. Kau besok harus kerja kan?”

Aku lega dia sudah lebih tenang. Ada juga gunanya aku punya sepupu atraktif sepertinya.

“Ayo,” ujarku sambil tersenyum.

Rhena menyeka air mata dari wajahnya dengan sapu tangan. Ia pun kembali tersenyum.

“Fred! Belikan aku es krim satu lagi!” pintanya.

“Jangan bercanda Rhena!” jawabku kaget.

“Ayolah Fred! Ini yang terakhir kok! Aku janji!” ujarnya memelas.

“Huh, baiklah,” ucapku kesal.

“Hore! Kau memang baik Fred!” soraknya penuh kemenangan.


Aku membelikannya es krim di Nata yang sama. Setelah itu, kami berjalan menuju halte untuk pulang. Saat ini sudah pukul 22:43. Tapi pasar malam ini masih ramai oleh pengunjung. Kuperhatikan di kejauhan sosok yang sudah tidak asing lagi di kota Talva. Orang itu adalah Gari Dez, seorang penyanyi pop terkenal. Artis yang satu ini merupakan kebanggaan Talva. Tiga album yang sudah dirilisnya mendapatkan respon yang positif di belantika musik nasional. Single andalannya yang berjudul “Rain After Rain” pernah mendapatkan penghargaan dari Nirta Music Awards sebagai single pop terfavorit. Tak kusangka orang seperti dia ternyata juga menggemari pasar malam. Tapi aku hanya melihatnya sekilas, karena warga yang menyadari kehadirannya berebutan untuk meminta tanda tangan atau foto bersama. Tampak dibalik kerumunan itu para bodyguard Gari kewalahan menghadapi para warga yang berebutan itu.


Kami sampai di halte, dan pada saat yang bersamaan bis jurusan Greenwater datang. Tanpa perlu menunggu kami langsung menaiki bis. Kali ini bis cukup sepi oleh penumpang. Aku kembali duduk di tempat duduk favoritku, dan Rhena duduk di sebelahku. Dia tidak terlalu banyak bicara, karena sepertinya dia sudah cukup lelah. Aku bisa memperhatikan matanya yang sudah berat.

“Hei, kau ngantuk ya?” tanyaku.

“Ngantuk? Tidak kok, aku masih semangat,” jawabnya, berpura-pura semangat.

“Hahaha, terserahlah,” tanggapku.


Bis pun bergerak meninggalkan halte. Hanya ada sekitar sepuluh penumpang di dalamnya. Aku memandangi jalanan melalui jendela. Rhena sepertinya semakin tidak sanggup menahan rasa kantuknya. Penumpang yang lain juga melakukan berbagai kegiatan. Ada yang hanya duduk diam, ada yang membaca, ada yang memandangi jalanan sepertiku, dan ada juga yang berjuang menaklukan rasa kantuk seperti Rhena. Dalam suasana itu, ponselku berdering menandakan ada pesan masuk. Kulihat ponselku, dan ternyata pesan itu dari Cleo.

“Selamat malam Fred. Kuharap saat ini kau belum tidur. Aku hanya ingin menyampaikan sebuah pesan dari pimpinan redaksi untukmu. Kau diminta besok untuk menemui pimpinan pukul 15:00. Aku tidak tahu apa alasan pimpinan memanggilmu, tapi sepertinya ada hal yang cukup serius untuk dibicarakan. Jangan sampai mengecewakan pimpinan, Fred!”

Itulah isi pesan dari editor Talva Times, Cleo. Aku sudah lama mengenalnya, karena dia adalah teman SMA ku. Dia adalah gadis yang cerdas, tegas, dan disiplin. Sikap itu didukung oleh penampilan kesehariannya. Wajahnya cantik, dan kacamata yang dipakainya menambah kecantikan itu. Rambutnya yang panjang tidak pernah dibiarkan tergerai begitu saja, tapi selalu dirapikan. Dia selalu terlihat bersih dan rapi. Tidak heran kalau sejak dulu banyak laki-laki yang memendam perasaan kepadanya. Tapi tidak ada yang berani dengan serius menyatakan perasaannya, karena menganggap Cleo terlalu sempurna untuknya. Sedangkan aku sendiri, pada awalnya juga sama saja seperti teman lainnya, menganggap Cleo terlalu sempurna. Tapi karena suatu kejadian, aku dan Cleo menjadi sahabat baik. Banyak temanku yang iri karena aku bisa begitu dekat dengannya.


Aku ingin membalas pesan itu. Tapi tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang bersandar di bahuku. Ternyata itu kepala Rhena, yang kali ini benar-benar tertidur. Aku tertawa kecil, karena orang yang bersusah payah mengatakan bahwa ia belum mengantuk akhirnya menyerah juga. Kemudian aku membalas pesan dari Cleo.

“Selamat malam Cleo. Harapanmu terkabul, aku masih bangun saat ini. Aku baru saja pulang dari pasar malam di Colter bersama sepupuku. Terima kasih karena kau sudah menyampaikan pesan itu padaku. Aku tidak akan mengecewakan pimpinan!”

Beberapa saat setelah itu ponselku kembali berdering. Cleo membalas pesanku.

“Aku baru saja pulang dari kantor, dan aku cukup lelah. Aku tidur dulu ya!”

Langsung saja kubalas pesan itu.

“Mimpi indah, Cleo :)”


Bis berhenti di depan apartemen. Aku membangunkan Rhena yang dari tadi masih menyandarkan kepalanya di bahuku. Dia bangun dalam keadaan yang masih setengah sadar. Kutuntun dia mulai dari turun bis sampai masuk kamar. Dia menemukan tempat tidur yang lebih baik daripada lantai, yaitu sofa. Tanpa disuruh ia pun berbaring di sofa itu dan dalam sekejap kembali tertidur. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah sepupuku ini. Saat ini sudah pukul 23:17. Aku menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi, kemudian aku tidur.


“BANGUN FREEEEED!”

Suara itu membangunkanku dari tidur. Samar-samar aku melihat seorang gadis yang tersenyum ceria.

“Hei, pukul berapa sekarang?” tanyaku, dengan suara berat.

“Pukul 04:30. Biasanya jam segini kau masih tidur ya? Itu kebiasaan buruk Fred! Kau harus biasakan bangun pagi!” jawab Rhena sambil tertawa kecil.

“Tak kusangka ternyata kau bisa bangun sangat pagi,” tukasku.

“Ayo Fred, mandi dan bereskan penampilanmu! Aku sudah memasak sarapan yang spesial untukmu!” katanya girang.

Aku melongo mendengar perkataannya. Dia hanya tamu, tapi dia memasak sarapan untukku?

“Ayo Fred, apalagi yang kau tunggu?”

Aku pun bangkit dari tempat tidur dan segera menuju kamar mandi. Sekitar dua puluh lima menit kemudian aku sudah siap dengan penampilanku.

“Ayo sarapan Fred! Aku sudah menyiapkan telur dan kentang spesial untukmu! Tak lupa segelas susu sebagai minuman yang sehat di pagi hari!”

Aku penasaran dengan rasa makanan buatan orang ini. Kucicipi sedikit, dan kemudian aku tertegun.

“Kenapa Fred? Tidak enak ya? Maaf ya, aku memang tidak terlalu bisa memasak,” sesalnya.

“Kau bicara apa? Seumur hidup aku belum pernah mencoba makanan selezat ini!” ungkapku.

“Benarkah? Terima kasih banyak Fred!” teriaknya penuh kebahagiaan.


Setelah sarapan, aku menitipkan kunci kamar pada Rhena. Kemudian aku pergi ke kantor. Hari ini aku mendapat tugas untuk mengoleksi informasi berita di tiga tempat. Aku kembali ke kantor setelah menyelesaikannya dan menulis berita-berita yang kuperoleh hari ini, ditambah dengan berita yang kudapat di pasar malam. Aku tidak melihat Jammy, jadi berkas-berkas berita yang telah kutulis hari ini kuserahkan langsung kepada Cleo. Pukul 15:00, aku menemui pimpinan redaksi di ruangannya. Sekitar tiga puluh lima menit aku dan pimpinan terlibat dalam pembicaraan yang serius. Setelah itu, aku pun keluar dari ruangan pimpinanku tersebut. Aku kaget karena melihat Cleo yang sepertinya menungguku dari tadi.

“Cleo? Apakah kau dari tadi disini?” tanyaku.

“Iya Fred. Aku hanya khawatir kalau seandainya kau punya masalah dengan pimpinan. Kalau boleh tahu, apa saja yang dibicarakan di dalam?” tanya Cleo.

Aku terdiam sesaat. Kemudian aku kembali bicara.

“Cleo, aku tidak akan menyerahkan berkas-berkas berita kepadamu selama beberapa hari,” tuturku.

“Kenapa Fred?” tanyanya heran.

“Aku mendapat tugas di gunung Goma selama beberapa hari,” jawabku.


to be continued


Chapter 4: The Great Amateur Chef

0 Responses