Chapter 2: Journalist at the Fair

Kami berdua menunggu bis jurusan Colter di halte apartemen. Sekarang pukul 19:50. Dari apartemen menuju pasar malam hanya membutuhkan waktu lima belas menit. Tapi menurutku lima belas menit bersama orang ini akan terasa seperti tiga jam.

“Fred! Kalau aku boleh tahu, bagaimana rasanya menjadi seorang wartawan?” tanyanya.

“Apa urusanmu?” jawabku, dengan nada sinis.

“Aku cuma bertanya kan, memangnya tidak boleh?” balasnya, juga dengan nada sinis.

Aku menghela nafas. Sepertinya bukan pilihan yang tepat mengabaikan pertanyaan darinya.

“Jadi wartawan itu sama seperti pekerjaan lainnya, ada susah, ada senang. Susahnya karena kau dituntut untuk selalu mencari dan menulis berita yang berkualitas. Kau harus tetap bersikap profesional meskipun sedang menghadapi situasi yang mencekam.”

Dia kelihatannya serius mendengarkan. Aku melihat sebuah bis dari kejauhan. Tidak salah lagi, itu adalah bis jurusan Colter.

“Rhena, bis jurusan Colter akan segera datang. Aku akan melanjutkan ceritaku di dalam bis,” kataku.

Bis berhenti di depan kami. Kami segera masuk ke dalamnya. Cukup banyak penumpang di dalam bis ini. Dapat kuprediksi mereka adalah orang-orang yang juga ingin pergi ke pasar malam. Tapi untunglah kami dapat menemukan dua tempat duduk yang kosong. Aku pun duduk di tempat favoritku, di dekat jendela.


“Ayo Fred, lanjutkan ceritamu!” desaknya.

“Baiklah. Tadi aku sudah menceritakan kepadamu tentang susahnya jadi wartawan. Tapi di sisi lain, menjadi wartawan itu memberikan kepuasan tersendiri.”

“Kepuasan tersendiri?” tanyanya.

“Ya. Kau berjuang menuliskan sebuah berita demi para pembaca yang selalu setia menanti berita darimu. Coba bayangkan, bagaimana jika kau menuliskan sebuah berita asal-asalan yang membuat pembaca kecewa?”

“Maka kau akan dihantui rasa kegagalan,” jawabnya pelan.

“Nah, oleh karena itu seorang wartawan akan selalu berusaha menyajikan berita terbaik untuk disuguhkan kepada para pembaca. Jika para pembaca puas, maka itulah yang menjadi kepuasan tersendiri bagi seorang wartawan!” sambungku mantap.

“Apa kau mencintai profesimu, Fred?” tanyanya.

“Tentu! Aku mencintai profesiku. Profesi inilah yang membuatku merasakan arti kehidupan,” ujarku bersemangat.

“Sepertinya menjadi seorang wartawan itu cukup menyenangkan. Aku juga ingin menjadi seorang wartawan sepertimu!” ujarnya girang.

“Kenapa kau tidak menjadi dokter saja seperti Joey?” tanyaku.

“Aku tidak tertarik pada dunia medis. Lagipula Joey itu dokter yang hebat. Aku akan merasa canggung padanya jika aku juga menjadi seorang dokter,” jawabnya.

“Oh ya, sebenarnya Joey pergi kemana? Kenapa dia tidak memberitahuku dulu kalau dia tidak jadi berkunjung?” tanyaku.

“Dia pergi ke sebuah desa di gunung Goma. Kabarnya di desa itu sedang berjangkit suatu wabah cacar. Karena itu pemerintah kota Roro membentuk tim medis yang dikirim sebagai sukarelawan ke desa itu. Joey tergabung di dalam tim tersebut,” jawabnya.

“Apakah itu pemberitahuan mendadak?”

“Iya, dia pergi tadi siang. Makanya dia tidak sempat memberitahumu terlebih dahulu.”

“Semoga dia dapat menjalankan tugasnya dengan baik,” harapku.

“Kuharap begitu, karena dia sama sepertimu. Dia juga mencintai pekerjaannya,” ujar Rhena, sambil tersenyum.


Tidak terasa kami telah sampai di Colter. Aku melihat keramaian yang luar biasa di kawasan ini. Yang paling menarik perhatian tentunya berbagai Nata yang telah bersiaga melayani pembeli. Para pedagang Nata ini melakukan berbagai upaya untuk menarik pembeli. Mulai dari menawarkan menu spesial, memberikan diskon untuk pembelian banyak, sampai memberikan dekorasi pada Nata mereka seunik dan sekreatif mungkin. Padahal ini baru di luar area pasar malam. Tak terbayangkan olehku bagaimana suasana di dalam areanya sendiri.

“Hei Fred! Kau mau kan mengajariku menjadi seorang wartawan?” tanya Rhena.

Aku tertegun mendengar permintaannya. Tapi tiba-tiba aku mendapatkan sebuah ide cemerlang.

“Tentu saja. Aku berencana membuat berita tentang pasar malam ini. Jadi kau cukup perhatikan apa-apa saja yang kulakukan nantinya,” jawabku.

“Baik pak guru!” katanya girang.


Kami pergi ke loket karcis di dekat gerbang masuk. Antriannya cukup panjang, sehingga kami baru dapat berkomunikasi dengan penjual karcis kira-kira setelah sepuluh menit mengantri.

“Selamat malam Pak. Bisakah saya membantu anda?” tanya wanita penjual karcis itu dengan ramah.

“Saya ingin membeli dua karcis masuk,” jawabku.

“Untuk dua karcis, harganya adalah dua ratus ram,” sahut wanita itu.

Aku mengambil uang dua ratus ram dari dalam dompetku dan menyerahkannya kepada wanita itu. Wanita itu menerima uang dariku dan memberikan dua karcis masuk kepadaku.

“Terima kasih Pak. Semoga anda dapat bersenang-senang di pasar malam ini,” ucapnya, masih dengan keramahan yang luar biasa.

Aku pun menyerahkan satu karcis kepada Rhena. Kemudian kami berjalan menuju gerbang masuk. Disana telah berdiri seorang tukang sobek karcis dan seorang tukang stempel. Sistem kerja dua orang ini cukup sederhana. Setelah tukang sobek karcis telah menyobekkan karcis milik pengunjung, tukang stempel pun memberikan tanda stempel ke tangan pengunjung. Hal ini bertujuan untuk memberikan keamanan ganda, sehingga orang-orang yang dapat masuk ke area pasar malam benar-benar hanya pendatang yang legal.


Setelah memasuki area pasar malam, aku pun mengajak Rhena untuk makan di sebuah Nata burger. Aku memesan beef burger, sedangkan Rhena memesan cheese burger. Setelah makan, aku mengajaknya berkeliling sambil terus mengobrol dengannya. Cukup banyak permainan dan pameran pada pasar malam ini. Rhena melihat sebuah permainan lempar gelang, dan langsung menarikku kesana. Permainan ini cukup sederhana. Dengan membayar 100 ram, pemain akan mendapatkan tiga gelang dengan diameter sekitar lima belas sentimeter. Ini berarti, setiap pemain diberikan tiga kali kesempatan untuk melemparkan gelangnya. Sasarannya adalah sejumlah tiang kecil dengan tinggi sekitar dua puluh lima sentimeter. Setiap tiang memiliki nilai tersendiri. Semakin jauh tiang tersebut dari pemain, semakin tinggi nilainya. Nilai yang diperoleh pemain pada ketiga pelemparan akan diakumulasikan, dan dapat ditukarkan dengan hadiah yang telah disediakan. Aku sepertinya tidak terlalu berbakat dalam permainan ini. Terbukti aku hanya berhasil memasukkan sekali pada tiang bernilai sepuluh. Dan untuk itu aku dihargai sebungkus permen karet. Tapi berbeda denganku, Rhena justru sangat berbakat. Tiga kali pelemparan memberikannya total nilai dua ratus sepuluh. Alhasil dia berhasil membawa pulang sebuah arloji dan cincin imitasi.


Setelah selesai dari permainan itu, kami pun kembali berkeliling. Aku melihat seorang pedagang perhiasan dari cangkang hewan laut. Aku memutuskan untuk membeli sebuah kalung yang terbuat dari kerang, dan memberikannya kepada Rhena. Dia pun tertawa girang dan berterima kasih kepadaku. Tiba-tiba kami mendengar suara teriakan dari seorang ibu.

“COPEEEET! TOLONG AKU, COPET ITU MENGAMBIL TASKU!” teriak ibu itu sambil menunjuk seorang laki-laki yang tengah melarikan diri.

“Rhena, kau ingin melihat bagaimana seorang wartawan beraksi kan? Sekarang perhatikan aku!” kataku.

Aku mengeluarkan pulpen dan catatan kecil. Tak lupa aku memakai tanda pengenal pers milikku. Kutuliskan tanggal, waktu, tempat, dan suasana kejadian. Kemudian aku berlari untuk mengejar pencopet itu. Rhena ikut berlari, sambil tetap memperhatikan apa yang akan kulakukan berikutnya. Sambil berlari, aku tuliskan di catatanku sebuah topik “Pencopetan tas di pasar malam”. Rhena tetap memperhatikanku, tapi aku bisa membaca keheranan di wajahnya. Aku yakin dia pasti heran kenapa aku bisa menulis dengan baik saat sedang berlari.


Pencopet itu cukup lincah. Dia dapat menerobos keramaian dengan mudahnya. Tiba-tiba suara letusan senjata terdengar. Itu pasti tembakan peringatan dari polisi yang berjaga di pasar malam ini. Peringatan itu diabaikan oleh laki-laki itu, sehingga polisi memberikan peringatan kedua. Laki-laki itu terus berlari, sehingga polisi akhirnya mengejarnya. Pencopet itu sepertinya masih belum menyerah. Sikap pencopet itu memaksa polisi untuk menembakan peluru ke kakinya. Dalam sekejap ia tersungkur akibat peluru yang bersarang di kakinya. Polisi segera meringkus laki-laki itu. Aku melihat wartawan-wartawan lain bersiap untuk menghampiri tempat kejadian. Tidak ingin didahului, aku bergerak cepat ke arah mereka, dan segera mengumpulkan informasi tentang pencopet itu. Namanya adalah Packey Garnet, 38 tahun, seorang pengangguran. Kemudian aku menemui ibu korban pencopetan tadi dan mengumpulkan informasi tentangnya. Namanya adalah Evana McTage, 41 tahun, seorang ibu rumah tangga. Setelah itu, aku menuliskan poin-poin penting kejadian ini. Rhena tetap memperhatikanku dengan serius. Sesekali dia menanyakan sesuatu kepadaku, yang dapat kujawab dengan mudah.


Catatan beritaku telah selesai. Sebelum pulang, aku mengajaknya membeli es krim di sebuah Nata. Kami sama-sama membeli es krim coklat. Saat sedang menikmati es krim, kami melihat seorang gadis kecil merengek-rengek meminta ibunya untuk membelikannya es krim.

“Jadi anak kecil itu memang asyik ya. Tinggal menangis, maka keinginan pun diperoleh,” ujarku.

Suasana hening, pertanda Rhena tidak menanggapi ucapanku.

“Hei Rhena, tidak biasanya kau diam begini. Ada apa?” tanyaku.

Tiba-tiba raut mukanya berubah menjadi suram. Dia tak kuasa membendung air matanya.

“Fred, aku rindu ibuku!”


to be continued


Chapter 3: She Wakes Up Early Morning

0 Responses