Chapter 5: Young Spirit in Old Body

Dia berjalan ke arah kami. Kami semua memandang ke arahnya. Ada yang terheran-heran, ada yang biasa saja, dan ada juga yang tercengang. Aku sendiri masih belum sanggup untuk melepaskan kata-kata yang dari tadi masih tertahan di lidahku.

“Aku belum pernah melihatmu di Talva Times. Perkenalkan dirimu!” ujar Andre.

Orang itu diam sejenak. Kemudian dia angkat bicara.

“Perkenalkan, namaku Rhena Somer!” katanya mantap.

Tanpa diperintah semua orang di rombongan mengarahkan pandangannya kepadaku. Aku dapat melihat tatapan mereka semua dipenuhi oleh tanda tanya yang besar.

“Fred, dia memiliki nama belakang yang sama denganmu. Apakah dia saudaramu?” tanya Andre, dengan rasa ingin tahu yang besar.

“Nggg, dia…,”

“Benar! Aku sepupu dari Fred! Ayahnya adalah adik dari ayahku!” ujar Rhena tiba-tiba.

“Ya, kau sudah mendapat jawabannya kan?” jawabku.

Andre mengangguk-angguk. Kemudian dia kembali bertanya kepada Rhena.

“Hmm, jadi kau sepupu dari Fred. Baiklah Rhena Somer, aku ingin menanyakan dua hal kepadamu.”

“Silakan, aku akan menjawabnya dengan senang hati,” kata Rhena.

“Pertanyaan pertama, darimana kau tahu nama lengkap Millie?”

“Fred memperlihatkan surat tugasnya semalam. Sewaktu ia tidur, aku diam-diam mengambil surat itu dan membuat salinannya,” jawabnya.

“Jadi kau mengambil surat itu semalam?” tanyaku geram.

“Hei, kalian tinggal bersama?” tanya Wilden.

“Tidak. Dia tinggal di kota Roro. Saat ini ia sedang berkunjung ke Talva, karena itu ia menginap di apartemenku,” jawabku.

“Kulanjutkan ke pertanyaan kedua. Apa yang membuatmu yakin bisa menggantikan Millie?”

“Di surat ini tertulis Millie bertugas sebagai juru masak rombongan. Kalau soal masak-memasak, kau tidak perlu meragukanku. Tanya saja pada Fred, dia sudah merasakan langsung masakanku!”

“Benarkah Fred?” tanya Andre padaku.

“Ya, aku tidak bisa bohong tentang ini. Dia adalah koki yang sangat hebat,” jawabku.

“Baiklah, kau memenuhi syarat untuk menggantikan Millie,” kata Andre.

“Terima kasih banyak Pak!” sahutnya girang.


Rhena kemudian berkenalan dengan semua anggota rombongan. Semua orang menyambut perkenalan itu dengan ramah. Bahkan Aida meminta Rhena untuk mengajarinya memasak sepulang dari kegiatan ini. Walaupun untuk pertama kalinya bertemu dengan mereka, tapi Rhena tetap memperlihatkan wajahnya yang ceria. Aku salut dengan kemampuan beradaptasi sepupuku itu. Tak lama kemudian, mobil yang akan membawa kami ke tempat tujuan telah datang. Mobil tipe minibus 4000 cc bermesin diesel itu dikendarai oleh supir redaksi, Mark Lennen. Lelaki ini telah berusia lima puluh delapan tahun, tetapi semangatnya masih seperti pemuda berusia dua puluh delapan tahun. Dia sudah bekerja sebagai supir di Talva Times selama tiga puluh satu tahun. Meskipun hanya seorang supir, tapi ia sangat mencintai pekerjaannya itu.

“Ayo, masukkan barang-barang kalian ke dalam mobil. Setelah itu duduklah di tempat yang kalian sukai. Lennen tua ini siap mengantarkan kalian!” seru Mark dengan penuh semangat.

“Pak tua, apa kau masih sanggup membawa kami ke gunung Goma?” tantang Andre.

“Hahaha, kau tak perlu meragukanku, Andre! Lennen tua ini hanya tua secara fisik. Tapi jiwa mudaku tak pernah menua. Jangankan dengan mobil, berlari saja aku masih sanggup ke gunung Goma, hahaha!” jawab Mark dengan mantap.

Kami pun tertawa bersama-sama. Rhena sepertinya begitu mengagumi jiwa muda yang terkurung di dalam raga tua itu.


Kami menaikkan barang-barang kami ke dalam minibus itu. Kemudian kami mengambil tempat duduk masing-masing. Mobil berkapasitas enam belas orang itu sebenarnya lebih dari cukup untuk dimasuki kami yang berjumlah delapan orang ditambah Mark sebagai supir. Bahkan setelah dimasuki barang-barang pun kami masih bisa duduk dengan cukup nyaman. Andre dan Omoni duduk di depan di sebelah Mark. Aku duduk di dekat jendela bersama Rhena di baris kedua. Aida duduk bersama Kara di barisan belakangku. Sedangkan yang paling belakang adalah Wilden dan Javier. Setelah semua dirasa beres, Mark mulai menjalankan mobil ini.

“Berangkat! Lennen tua akan memindahkan tempat yang terbayang di pikiranmu ke depan matamu!” teriak orang tua itu.

Kami semua tertawa mendengar teriakannya. Itu adalah semboyan yang selalu diteriakkan Mark ketika akan mengantarkan penumpangnya. Memindahkan tempat yang sebelumnya hanya terbayang di pikiran kami menjadi benar-benar di depan mata kami sendiri.


Perjalanan menuju gunung Goma pun dimulai. Mark mengarahkan mobil ke jalan tol untuk mengambil jarak tempuh paling singkat menuju perbatasan kota. Perjalanan ini bukanlah perjalanan yang singkat, melainkan perjalanan yang panjang. Jarak dari kota Talva ke gunung Goma cukup jauh. Kami bisa menghabiskan sepuluh jam perjalanan untuk mencapainya. Wilayah-wilayah yang akan dilewati dalam perjalanan nanti adalah kota Talva, kota Mamaga, desa Kari, desa Landares, kota Plandiata, desa Queenstown, dan desa Goma Valley.


Di tengah perjalanan, kami melakukan berbagai aktivitas. Andre dan Omoni kelihatannya asyik berbagi cerita dengan Mark. Lain halnya dengan Wilden, ia sibuk memotret pemandangan kota Talva melalui jendela mobil dengan kamera DSLR nya. Aida dan Kara bercerita tentang trend pakaian terbaru. Javier lebih memilih untuk mendengarkan musik dari pemutar musik portabel. Aku sendiri kembali menjalankan kebiasaanku, yaitu menikmati pemandangan berjalan kota Talva melalui jendela mobil. Sedangkan Rhena, kuperhatikan ia sedang membaca novel Bersama Waktu, karangan Vella Kirkov. Tiba-tiba muncul pertanyaan dari kepalaku.

“Rhena, kenapa kau mengikutiku ke kantor?” tanyaku.

Rhena tertegun mendengar pertanyaanku. Dia menutup novel yang sedang ia baca.

“Fred, aku juga tidak bisa menjelaskan ini padamu. Walaupun kujelaskan, aku yakin kau akan bilang tidak masuk akal,” jawabnya.

“Jelaskan saja dulu,” kataku.

“Sewaktu kau perlihatkan surat tugas itu, aku mendapat firasat bahwa aku akan menggantikan salah seorang di antara mereka. Lalu kenapa aku membuat salinan surat itu, aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku melakukannya. Sepertinya aku diperintahkan alam bawah sadarku,” jawabnya.

Aku memperhatikan matanya. Tidak terdapat tanda-tanda kebohongan pada ucapannya itu. Aku kemudian menanggapi ucapannya itu.

“Aku juga. Tidak tahu kenapa, aku percaya kata-katamu. Sepertinya alam bawah sadarku juga memerintahkanku untuk itu,” ujarku.

Rhena tersenyum mendengar ucapanku.

“Mungkin karena kita sama-sama keluarga Somer,” bisiknya.

“Mungkin,” jawabku.


Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, kami akhirnya sampai di desa Goma Valley. Saat ini waktu menunjukkan pukul 18:55. Perjalanan masih belum berakhir, karena dari desa ini kami harus menempuh jalan ke atas gunung. Di gunung Goma sendiri ada tiga desa, yaitu desa As, desa Kor, dan desa Iwimi. Ketiga desa ini berbatasan secara langsung. Dahulu ketiga desa ini merupakan satu desa berwilayah luas tapi berpenduduk sedikit yang bernama desa Askoriwimi. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang terus berlangsung, desa ini akhirnya dibagi menjadi tiga desa yang menangani wilayah pemerintahan masing-masing. Desa yang terjangkit wabah cacar yang akan kami kunjungi itu adalah desa As. Mark membawa kami dari Goma Valley ke As dalam waktu tiga puluh menit. Pukul 19:25, kami telah sampai di sebuah lokasi perkemahan.

“Kita telah sampai! Tempat yang sebelumnya hanya terbayang di pikiran kalian saat ini telah ada di depan mata kalian!” teriak Mark.

“Terima kasih Pak. Jiwa mudamu memang luar biasa,” sahut Andre.


Kami menurunkan barang-barang bawaan kami dari dalam mobil. Setelah itu kami mendirikan tenda-tenda dan memasukkan barang-barang yang lain ke dalamnya. Lokasi perkemahan ini berdekatan dengan markas tim dokter sukarelawan itu. Dengan itu, kami tidak perlu pergi terlalu jauh untuk menemui dan menyaksikan kegiatan dokter-dokter itu.

“Desa ini gelap sekali. Hanya ada beberapa lampu jalan di sudut-sudut desa ini,” ujar Kara.

“Maklumlah, ini bukan daerah pemukiman di desa ini. Jika kau ingin melihat daerah pemukiman, maka besok pagi kita akan melihatnya, di tempat dokter-dokter itu,” sahut Mark.

“Sekarang istirahatlah dulu. Besok pagi kita akan mulai pekerjaan ini!” seru Andre.

Kami pun bersiap untuk memasuki tenda masing-masing. Sebelum memasuki tendanya, Rhena berbisik padaku.

“Fred, besok kita akan menemui Joey.”

Aku tersenyum mendengarkan bisikan itu.

“Aku tak sabar menunggu hari esok datang, Rhena!” sahutku penuh semangat.


to be continued


Chapter 6: The Hospital of As Village

0 Responses