Chapter 10: Just Follow Your Heart

Aura yang kurasakan ketika baru memasuki hutan ini tidak jauh berbeda dengan aura yang kurasakan di luar gerbang. Hijaunya hutan ini memberikan aura keasrian dan kehidupan yang baik. Tidak ada tanda-tanda kerusakan pada hutan ini. Sepertinya larangan yang ada di gerbang itu membuat tidak ada penebang liar yang berani memasuki hutan ini.

“Hutan yang indah,” gumamku.

“Apakah mungkin di dalam hutan seindah ini ada manusia burung yang menyeramkan itu?” tanya Awald.

“Kita baru sampai disini. Kita tidak tahu bagaimana keadaan hutan ini jika kita masuk lebih dalam lagi,” sahut Rhena.

Kami meneruskan perjalanan menelusuri jalan setapak di hutan ini. Jalan setapak ini dipenuhi oleh rerumputan, menandakan jarang sekali jalan ini dilalui. Tapi kami masih bisa menelusurinya karena batas antara jalan dengan lingkungan sekitarnya dapat terlihat dengan jelas.

“Kenapa di hutan ini ada jalan setapak? Kalau kita masih bisa melihatnya, berarti jalan ini masih dilalui orang-orang sekitar satu atau dua bulan yang lalu,” ujar Awald.

“Mungkinkah jalan ini dilalui manusia burung?” tanyaku.

“Aku tidak tahu. Mungkin mereka lebih suka berjalan kaki daripada terbang dengan sayapnya,” gumam Joey.

“Jadi kau percaya adanya manusia burung itu?” tanya Awald.

“Itulah yang akan kita buktikan sekarang,” jawabku.


Kami menemukan persimpangan di jalan setapak itu. Ada jalan ke arah kiri, dan ada juga jalan ke arah kanan.

“Jalan mana yang harus kita lalui?” tanya Rhena.

“Mari kita cari dulu petunjuk. Siapa tahu hutan ini memang menyimpan teka-teki. Kau masih ingat kan kalimat pada palang kayu di gerbang tadi?” ujar Awald.

Kami memperhatikan di sekeliling persimpangan itu. Tidak ada terlihat palang atau sejenisnya. Di tanah pun tidak terlihat sebuah kode yang mungkin saja dituliskan secara diam-diam. Aku memperhatikan kembali persimpangan itu. Yang ada disana adalah jalan setapak yang terbagi dua, bebatuan, dan pepohonan. Tiba-tiba aku menyadari ada sesuatu pada dua buah pohon yang ada di tengah-tengah persimpangan, seolah-olah kedua pohon itulah yang membelah jalan ini.

“Hei, coba kalian perhatikan dua buah pohon itu!” seruku sambil menunjuk dua pohon itu.

Joey, Rhena, dan Awald memperhatikan dua pohon yang kutunjuk itu. Mereka berusaha mencari sesuatu yang kumaksud.

“Ada sesuatu seperti ukiran pada kedua pohon ini,” kata Awald.

“Pada pohon yang sebelah kiri, ada ukiran wajah seseorang yang tersenyum,” kata Joey.

“Sedangkan yang sebelah kanan, ada ukiran wajah seseorang yang bersedih,” kata Rhena.

“Mungkinkah ini kode yang harus kita pecahkan?” tanya Awald.

“Bisa jadi salah satu jalan ini akan menuntun kita ke pepohonan gogo,” tebakku.

“Yang kiri, ataukah yang kanan?” gumam Joey.

Kami berpikir keras untuk memecahkan kode ini. Kuperhatikan wajah Joey, Awald, dan Rhena. Joey dan Awald sepertinya masih berpikir, tapi Rhena sepertinya mendapati sesuatu.

“Buah gogo itu obat segala penyakit kan? Kalau begitu, buah gogo membawa kebahagiaan. Jalan sebelah kiri sepertinya akan membawa kita kepada kebahagiaan, yang berarti kita akan menemukan buah gogo,” ujar Rhena.

“Analisamu masuk akal, tapi apakah itu benar?” tanyaku.

“Kita coba saja dulu,” sahut Rhena.

“Bagaimana jika kita salah jalan?” tanya Awald.

“Ikuti saja kata hatimu!” tukas Rhena.


Rhena mengambil langkah yang mantap ke jalan sebelah kiri. Aku masih bingung dengan pilihan hatiku, tapi Joey telah terlebih dahulu mengikuti Rhena.

“Apapun pilihannya, aku akan selalu melindungi adikku,” ujar Joey kepadaku.

Aku pun termotivasi kata-kata Joey. Kususul mereka berdua ke jalan sebelah kiri. Tinggallah Awald yang sepertinya belum mengambil keputusan. Setelah kami berjalan agak jauh, barulah kami melihat Awald berlari menyusul kami. Begitu dia sampai di dekat kami, Rhena angkat bicara.

“Bagaimana kata hatimu, dokter?” tanya Rhena.

“Hatiku berkata untuk mengikuti kata hatimu,” jawab Awald.

“Ternyata hatimu belum mampu memutuskan segala sesuatu dengan sendirinya,” gumam Rhena.

“Entahlah. Aku seperti kehilangan jati diri saat kau mengatakan hal itu kepadaku tadi,” akunya.

“Kalau begitu, maafkan aku,” pinta Rhena.

“Kau tidak salah, jadi tidak perlu minta maaf,” jawab Awald.


Perjalanan kami lanjutkan kembali. Suasana di jalan sebelah kiri ini sesuai dengan suasana yang ditunjukkan pohon itu. Semakin ke dalam suasananya semakin hijau dan asri. Udaranya juga sangat sejuk dan bersih. Kicauan burung-burung kecil menambah aura positif hutan ini. Pohon-pohon tumbuh dengan subur dan rindang.

“Sepertinya kata hatimu benar,” ujarku.

“Tidak hanya kata hatiku, tapi kata hati kalian semua, kecuali kata hati dokter itu,” sindirnya kepada Awald.

Awald tidak menanggapi sindiran itu. Dia bertingkah seolah-olah tidak mendengarkan ucapan itu. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat mereka berdua.

“Seharusnya aku mengajak Wilden ke hutan ini. Pasti banyak objek fotografi yang membuatnya tertarik,” gumamku.

“Tapi jika kau mengajaknya, maka kita pasti akan sering berhenti karenanya,” komentar Joey.

“Benar juga ya,” jawabku.


Sudah sekitar lima belas menit kami berjalan, tapi kami masih belum menemukan buah gogo. Sebagai satu-satunya orang yang sudah pernah melihat buah gogo secara langsung, Awald tidak henti-hentinya memperhatikan ke sekeliling jalan ini. Dia berharap bisa memetik buah yang pernah dimakannya saat kecil itu secara langsung. Tiba-tiba dia berteriak kepada kami.

“Kalian lihat yang kuning-kuning itu?” teriaknya penuh euforia.

Kami menelusuri arah tunjukannya itu. Penelusuran kami terhenti pada buah-buah kuning yang mirip dengan srikaya yang tergantung pada pohon-pohon setinggi dua meter.

“Inilah kebun gogo! Buah-buah itu adalah buah gogo! Kita berhasil menemukannya!” teriaknya lagi.

Aku segera berlari ke arah salah satu pohon. Kupetik buahnya yang bisa diambil tanpa harus memanjat. Pisau yang disiapkan sebagai bekal kukeluarkan dari dalam tas. Tanpa pikir panjang, aku belah buah itu dengan satu ayunan pisau.

“Merah, seperti darah,” gumamku.

Yang lain pun ikut memetik buah-buah gogo sebanyak mungkin. Aku mencicipi daging buah berwarna darah itu. Ternyata benar, rasanya sangat asam. Kusimpan buah yang sudah kubuka itu sebagai salah satu sampel untuk menuliskan berita. Setelah itu, aku ikut memetik buah gogo bersama mereka sampai tas kami penuh oleh buah itu.

“Aku benar-benar tak menyangka Goma adalah habitat bagi buah ini. Sebuah kebanggaan bagiku, karena gunung tempat aku dilahirkan menyimpan obat yang hebat!” sorak Awald.

Kami tersenyum melihat kebanggaan di wajahnya. Seorang pemuda gunung yang tidak mau meninggalkan tanah kelahirannya, tapi mengabdi dengan sepenuh hati disana.


Kami berjalan meninggalkan kebun itu. Tugas mencari buah gogo telah terlaksana. Waktunya untuk kembali dan menyerahkan hasil panen kami. Kami terus berjalan hingga akhirnya kembali ke persimpangan tadi.

“Sepertinya manusia burung itu memang hanya mitos,” kata Awald.

“Mitos ataupun fakta, kita beruntung tidak terjadi apa-apa kepada kita,” ujar Joey.

“Hei teman-teman!” sahut Rhena.

“Ada apa Rhena?” tanya Awald.

“Apa kalian tidak penasaran dengan jalan sebelah kanan?” tanyanya.

Kami terdiam mendengarkan pertanyaan itu. Secara pribadi, aku sebenarnya penasaran dengan jalan sebelah kanan. Kuperhatikan pada wajah kedua orang lainnya, rasa penasaran itu juga ada pada mereka.

“Siapa tahu kita bisa mendapatkan sesuatu yang menarik lainnya di jalan itu. Lagipula manusia burung itu hanya mitos kan?” sahutnya lagi.

“Tapi,”

“Ayolah, kita coba dulu!” ujarnya.

Sebelum kami menjawabnya, dia sudah melangkahkan kakinya ke jalan sebelah kanan.

“Hei Rhena, tunggu!” teriak Joey.

Rhena tidak mendengarkan teriakan Joey. Dia terus berjalan ke arah kanan. Kami masih berkonflik secara batin, apakah mengikutinya atau tidak.

“Bagaimana Joey, kau mau ikut dengannya?” tanya Awald.

“Aku bingung. Firasatku buruk tentang hal ini,” cemas Joey.

“KYAAAAAAAAAAAAAAA!!”

Kami kaget melihat kejadian yang kami lihat dengan mata kepala sendiri. Rhena terjerumus ke dalam sebuah lubang yang sepertinya memang sengaja dibuat sebagai jebakan. Kami segera berlari ke arah lubang itu untuk menolongnya. Tapi ketika kami melihat ke dalam lubang itu, dia tidak ada.

“Kemana dia?” tanya Joey.

“Joey, lubang ini bukan hanya sekedar lubang. Aku melihat sesuatu seperti jalan yang terhubung dari lubang ini. Mungkin lubang ini adalah pintu masuk sebuah terowongan,” kataku.

“Ada kemungkinan dia diculik melalui terowongan ini,” ujar Awald.

“Kita harus menyusulnya! Aku tidak dapat memaafkan diriku sendiri jika Rhena sampai celaka!” seru Joey.


to be continued


Chapter 11: Underground Passage

0 Responses