Chapter 12: He Will Save His Sister

Dua orang manusia burung itu mendarat di depan kami. Kali ini aku bisa melihat mereka dengan lebih jelas lagi. Kepala mereka benar-benar seperti burung. Mereka memiliki paruh. Bulu-bulu yang tumbuh di kepala dan leher mereka sudah membuatku yakin bahwa sebagian besar tubuh mereka ditumbuhi bulu-bulu itu. Struktur tangan mereka sama saja dengan tangan manusia biasa. Mereka tidak memiliki cakar yang tajam, tetapi memiliki ruas-ruas tangan yang jelas seperti kaki burung. Manusia burung yang di sebelah kiri memiliki tipe elang berbulu hitam, sedangkan yang di sebelah kanan memiliki tipe elang berbulu putih. Mereka memakai seragam seperti polisi.

“Apa maksudmu kami ditangkap?” tanya Joey.

“Apakah manusia sebodoh itu sehingga mereka tidak mengerti kalau mereka ditangkap?” bentak elang putih.

“Apa kau bilang?” balas Joey.

Elang putih itu langsung meninju pipi kanan Joey. Satu kali pukulan itu cukup untuk membuat Joey terjatuh.

“JANGAN COBA-COBA MEMBENTAK KAMI! STATUS KALIAN SEKARANG ADALAH KRIMINAL! KALIAN HARUS DITANGKAP!” bentak elang putih.

“Bisakah kita bicarakan ini baik-baik?” pintaku.

Elang hitam melayangkan pukulannya ke arahku. Tapi aku dapat menangkis pukulan itu.

“Maaf, aku tidak suka kekerasan. Silakan bawa kami ke tempat yang kau inginkan. Aku yakin kita bisa bicara baik-baik disana,” tegasku.

Sepertinya kata-kataku bisa meredam emosi mereka. Tidak ada tanda-tanda yang terlihat dari ekspresi mereka bahwa mereka akan memukulku kembali.

“Baiklah, bawa teman-temanmu menaiki mobil itu!” perintahnya.

Aku mencabut panah dari kaki Awald dan membalut lukanya dengan kain putih yang ada di dalam tasku. Kemudian aku membantunya berjalan ke arah mobil itu. Joey sudah bangkit kembali dan berjalan sendiri meskipun masih sempoyongan. Pada mobil bak terbuka dengan dua bangku yang saling memunggungi di baknya itu tertulis Kepolisian Willyvinia. Tulisan itu memberi petunjuk bahwa mobil itu digunakan untuk membawa kriminal ke kantor polisi. Dengan kata lain, dua orang manusia burung ini adalah polisi.


Elang putih mengendarai mobil ini, sedangkan elang hitam menjaga kami di belakang. Posisi mereka berdua sebagai penjaga gerbang Willyvinia digantikan oleh dua orang polisi lainnya. Sisi positif dari penangkapan ini, kami bisa menikmati pemandangan Willyvinia meskipun dalam suasana yang menegangkan. Tampak manusia-manusia burung lain berlalu lalang di jalanan desa. Setiap kali mobil ini lewat di hadapan mereka maka mobil ini akan menjadi pusat perhatian. Tentu sebenarnya bukan mobil ini yang menjadi pusat perhatian, melainkan kami yang ada di atasnya. Awald sepertinya tidak merasakan lagi rasa sakit di kakinya karena ia memakan buah gogo setelah penembakan itu. Joey juga memakan buah gogo, dan sepertinya efek pukulan elang putih tadi juga sudah hilang dari kepalanya. Aku tidak ikut memakan buah gogo, karena aku tidak ingin terlihat kesakitan di hadapan mereka. Sebenarnya tanganku mati rasa akibat menangkis pukulan elang hitam tadi. Pukulannya sangat kuat, lebih kuat daripada pukulan manusia biasa.

“Boleh aku menanyakan sesuatu kepadamu?” pinta Joey.

“Apa?” jawabnya tegas.

“Siapa namamu?” tanya Joey.

“Baca sendiri di dada kanan seragamku.”

“Cesnael,” Joey membaca nama di seragamnya.

“Kalau temanmu itu?” tanyaku.

“Zappa,” jawabnya.

“Kalian bisa terbang kan? Kenapa masih mengendarai mobil?” tanya Joey.

“Terbang itu butuh banyak energi. Kami tidak ingin menghabiskan energi sia-sia hanya untuk mengurusi orang-orang seperti kalian,” jawabnya tanpa ekspresi.

“Aku ingin menanyakan sesuatu padamu!” pinta Awald.

“Aku tidak punya waktu lagi untuk melayani pertanyaan kalian. Diamlah sampai kita sampai di kantor polisi atau kuhabisi kalian sekarang juga!” ancamnya.

Suasana menjadi hening. Tidak ada lagi pertanyaan yang kami lontarkan kepada Cesnael.


Dua puluh menit kemudian kami sampai di kantor polisi Willyvinia. Kami semua turun dari mobil. Zappa berjalan di depan kami, sedangkan Cesnael mengawasi kami di belakang agar tidak kabur. Kami memasuki kantor polisi itu dengan pengawasannya yang begitu ketat. Hal pertama yang kuperhatikan saat memasuki kantor ini adalah bagian administrasi. Desa ini tersembunyi di balik kabut, tapi manusia-manusia burung disini sudah menggunakan komputer untuk pekerjaan mereka. Sistem operasi dan program yang mereka gunakan juga merupakan produk-produk keluaran terbaru. Hal ini menandakan mereka tidak ketinggalan perkembangan zaman. Aku juga memperhatikan beberapa CCTV yang terpasang di sudut-sudut kantor. Dengan keberadaan mereka yang tidak diketahui, bagaimana cara mereka tidak ketinggalan arus globalisasi? Apakah mereka memproduksi sendiri semua peralatan ini? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi otakku. Apa yang kulihat saat ini terlalu nyata untuk sebuah mimpi, tapi terlalu tidak masuk akal untuk sebuah kenyataan.


Setelah melalui proses administrasi dan penyitaan barang, Zappa kemudian membawa kami ke dalam sel. Sel kami dipisahkan dengan sel-sel lain yang berisi manusia burung. Kelihatannya sel yang akan kami huni adalah khusus untuk manusia biasa.

“Boleh aku menanyakan satu pertanyaan lagi kepadamu?” pinta Joey.

“Apa lagi yang mau kau tanyakan?” sahut Cesnael.

“Apakah ada seorang gadis yang tertangkap karena memasuki wilayah desa ini?” tanya Joey.

“Tidak ada. Sejak empat bulan yang lalu belum ada seorang pun manusia yang memasuki wilayah ini. Kalian adalah orang-orang pertama setelah empat bulan,” jawab Cesnael.

“Kau serius? Gadis itu tidak dibawa ke desa ini?” tanya Joey kaget.

“Dimana gadis itu hilang?” tanya Zappa.

“Dia terjatuh ke dalam lubang jebakan yang ada di hutan larangan gunung Goma. Dari terowongan bawah tanah yang ada di dalam lubang itulah kami bisa kesini,” jelas Joey.

“Satu hal yang harus kujelaskan kepadamu, kami hanya menangkap pendatang yang memasuki wilayah desa ini secara ilegal.”

“Lalu dimana dia?”

“Kemungkinan besar ia diculik oleh The Levi.”

“The Levi?”

“Mereka adalah kelompok penjahat bawah tanah yang menjadi buronan kepolisian Willyvinia. Mereka memiliki jalan rahasia sendiri di terowongan bawah tanah, sehingga kami kesulitan melacak keberadaan mereka.”

“Aku harus menemukannya! Mohon bebaskan aku!” pinta Joey.

Zappa kembali mendaratkan pukulan yang kuat dari tangannya ke wajah Joey. Tapi kali ini Joey tidak langsung terjatuh begitu saja.

“STATUSMU ADALAH TAHANAN! APAPUN ALASAN YANG KAU BERIKAN TIDAK AKAN MENGUBAH STATUSMU ITU!” bentak Zappa.

“Gadis itu adalah adikku. Aku harus menyelamatkannya! KELUARKAN AKU DARI TEMPAT INI!” bentak Joey.

Zappa yang sudah terpancing emosinya menendang perut Joey sekuat tenaga. Joey terdorong ke belakang dengan kuatnya dan terjatuh.

“Mohon hentikan ini! Tidak ada gunanya kita berkelahi!” teriakku.

Melihat keadaan yang semakin kacau, Cesnael segera membukakan pintu sel untuk kami.

“Kalian bertiga cepat masuk! Ikuti saja hukum yang berlaku di desa ini!” perintahnya.


Aku dan Awald mengangkat Joey yang sudah tidak berdaya ke dalam sel sempit berukuran empat meter kali empat meter ini. Cesnael mengunci sel ini dan pergi bersama Zappa yang sudah naik darah. Kami baringkan Joey di atas tempat tidur yang ada di dalam sel ini. Dia terlihat begitu kesakitan akibat pukulan-pukulan dari Zappa.

“Sakit sekali…,” rintihnya.

“Sudahlah Joey. Sekarang kita turuti saja apa yang mereka inginkan,” ujar Awald.

“Tidak bisa. Aku sangat mencemaskan Rhena,” ucapnya lirih.

“Rhena akan baik-baik saja. Benarkan Fred?” ujar Awald kembali.

Aku tidak menjawab kata-kata Awald. Walaupun Rhena adalah gadis yang kuat, tapi kali ini aku sangat mengkhawatirkannya. Penculiknya adalah orang-orang yang bahkan para polisi manusia burung yang sangat kuat tidak mampu menangkapnya.

“Fred, Awald, kita harus melarikan diri dari tempat ini,” ujar Joey menahan rasa sakit.

“Tapi, bagaimana cara kita melarikan diri? Tidak ada celah di dalam sel ini, dan pintu sel ini sendiri terkunci,” kata Awald.

Joey terkulai lemas mendengarkan jawaban dari Awald. Aku dapat melihat perasaan berkecamuk dari ekspresinya yang sangat galau.

“Rhena, semoga kau tidak apa-apa. Tenanglah, aku akan menyelamatkanmu!” rintih Joey.

Aku kasihan melihat Joey yang sepertinya hampir kehilangan harapan. Segenap kemampuan otakku kukerahkan untuk memikirkan cara keluar dari tempat ini. Ketika sedang berpikir, perhatianku tertuju kepada tulisan-tulisan yang ada pada dinding sel. Tiba-tiba aku menyadari ada sesuatu pada tulisan itu. Aku memeriksa kembali sel ini, dan aku mendapatkan suatu hal.

“Aku tahu cara keluar dari tempat ini,” sahutku sambil tersenyum.


to be continued


Chapter 13: Digger Race

0 Responses