Chapter 9: Forbidden Jungle

Nenek itu kembali bicara tentang manusia burung. Awald terlihat seperti pura-pura tidak mendengarkan ucapan itu. Dokter-dokter lainnya saling bertanya satu sama lain. Ada diantara mereka yang terkejut, ketakutan, kebingungan, biasa-biasa saja, dan bahkan ada yang tertawa kecil.

“Maaf, tapi aku belum pernah mendengar tentang manusia burung. Apakah Nenek serius?” tanya Caesar.

“Jika kau ingin menyaksikan manusia burung dengan mata kepalamu sendiri, masukilah hutan di gunung ini! Hutan ini disebut Hutan Larangan, karena tidak ada manusia biasa yang boleh memasukinya!” seru Emma.

“Adakah orang yang pernah masuk ke dalam hutan ini?” tanya Caesar.

“Ada, tapi tidak semua orang yang masuk bisa kembali dari hutan ini. Hanya beberapa orang saja yang kembali, dan mereka mengaku tidak bertemu dengan manusia burung!” seru Emma kembali.

“Berarti belum ada bukti hidup kan?”

“Hilangnya beberapa orang sudah menjadi bukti!”

“Tapi buktinya belum kuat. Bisa saja mereka tersesat di tengah hutan dan mati kelaparan,”

“Terserah kau mau percaya atau tidak kepadaku. Yang jelas, kalau kau tetap mau mengambil buah gogo, maka kau harus menghadapi resiko itu!” tegas Emma.

“Sudahlah, hentikan perdebatan ini! Nenek kenapa ada disini?” tanya Awald.

“Aku hanya kebetulan saja lewat rumah sakit ini. Tujuanku yang sebenarnya adalah pasar. Pembicaraan kalianlah yang membuatku tertarik untuk ikut campur,” jelasnya.

“Terima kasih atas informasimu Nek,” sahut Caesar.


Emma melanjutkan perjalanannya ke pasar yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumah sakit ini. Dia menaiki kendaraan umum yang lewat di depan rumah sakit. Sementara itu, Caesar tampak sedang berpikir keras menanggapi informasi dari Emma.

“Aku tidak terlalu percaya dengan manusia burung yang dia ceritakan. Tapi entah kenapa aku percaya dengan buah gogo,” ujar Caesar.

“Hei Awald, apakah buah gogo itu benar-benar ada?” tanya Joey.

“Nggg, sebenarnya sewaktu kecil aku pernah melihat buah yang disebut gogo. Tapi aku tidak tahu kalau buah itu sebenarnya berasal dari gunung ini. Apalagi tentang obat segala penyakit, aku sama sekali tidak tahu tentang hal itu,” ungkap Awald.

“Seperti apakah buahnya?” tanya Caesar.

“Buah itu mirip dengan buah srikaya. Kulit buahnya berwarna kuning, sedangkan daging buahnya berwarna merah darah. Rasanya sangat asam,” jawab Awald.

“Tentang keberadaan buah gogo, nenek itu tidak bohong. Tapi tentang khasiat, kita belum dapat membuktikannya. Satu-satunya cara membuktikan hal itu hanyalah dengan mencari buah gogo dan membuat obat darinya!” seru Caesar.

Suasana menjadi sepi. Sepertinya semua orang disini berpikiran sama tentang opini Caesar. Mencari buah gogo sama dengan bunuh diri.

“Mungkin pekerjaan ini sangat beresiko. Tapi kita tidak bisa membiarkan kegiatan ini tidak memperoleh kemajuan,” ujarnya kembali.

Suasana menjadi tegang. Aku dapat membaca ekspresi dari dokter-dokter itu bahwa mereka sudah mengetahui apa yang akan dilakukan Caesar selanjutnya.

“Aku butuh orang-orang yang berani mengambil buah gogo di hutan gunung ini!” seru Caesar.


Tak ada seorang pun di antara dokter-dokter itu yang mengajukan dirinya. Mereka yang tadinya tertawa kecil meremehkan cerita Emma sekarang juga ikut-ikutan merasa takut. Kalau cerita itu hanya mitos belaka, mungkin memang takdir mereka tidak bertemu dengan manusia burung. Tapi bagaimana seandainya kalau cerita itu benar? Akankah mereka bisa kembali dengan selamat?

“AKU BERSEDIA!” sahut Awald.

Semua yang ada di tempat ini terkejut mendengarkan ucapan itu.

“Kau yakin, Awald?” tanya Caesar.

“Aku yakin! Motivasi utamaku karena aku ingin membuktikan mitos yang selalu diceritakan nenekku sejak kecil!” jawabnya.

Semua yang ada di tempat ini bertepuk tangan atas keberanian Awald. Ada tepuk tangan yang benar-benar bertujuan memberikan apresiasi, tapi ada juga tepuk tangan yang sepertinya berisi ejekan.

“AKU JUGA IKUT!” seru Joey.

“Joey?” tanyaku dalam hati.

“Demi mengobati pasien, apapun akan kulakukan, meski taruhannya adalah nyawa!” tegas Joey.

Tepuk tangan kembali membahana di rumah sakit kecil ini. Aku juga ikut bersemangat karena sepupuku itu.

“Andre! Aku akan menulis kegiatan mereka di hutan itu!” seruku mantap kepada Andre.

“Fred! Apa kau serius? Kita tidak punya hak untuk ikut dalam kegiatan yang di luar agenda mereka!” tegas Andre.

“Demi memuaskan pembaca, apapun akan kulakukan, meski taruhannya adalah nyawa!” tegasku.

“Aku juga ikut! Tak akan kubiarkan kakakku berjuang sendirian! Kalian makan saja makanan dari rumah sakit selama aku pergi ke hutan itu!” tambah Rhena.

“Kalian berdua!” teriak Andre.

“Tenang Andre. Lennen tua dapat melihat aura positif yang terpancar dari Somer bersaudara ini. Mereka akan kembali dalam keadaan selamat,” ujar Mark.

“Tapi…,”

“Kami semua mendukung kalian! Semoga berhasil!” teriak anggota rombongan yang lain.

Andre terpaksa mengalah dari keputusannya. Meskipun ia ketua rombongan, tapi ia tak punya kekuatan memaksakan kehendak kali ini. Dia akhirnya menyetujui keputusan kami.

“Aku ingatkan kalian untuk berhati-hati! Jangan sampai kalian tidak pulang ke Talva!” tegas Andre.


Keputusan dari pihak wartawan dan pihak dokter telah diambil. Pihak wartawan akan mengirimkan dua orang, yaitu aku dan Rhena. Dari pihak dokter sendiri tidak ada lagi yang berani selain Awald dan Joey. Sebelum pergi ke hutan, kami menyiapkan bekal untuk bertahan hidup. Kami juga diberikan arahan tentang keselamatan di alam bebas oleh salah seorang warga As. Setelah semua persiapan dirasa telah beres, kami pun dilepas oleh pihak masing-masing. Untuk transportasi menuju gerbang hutan, kami berempat diantarkan oleh Mark. Gerbang hutan berjarak sekitar sebelas kilometer dari rumah sakit. Jalan di pemukiman yang awalnya mulus digantikan oleh jalan di luar pemukiman yang terjal dan sangat berat. Butuh waktu sekitar lima belas menit bagi seorang Mark untuk menaklukan semua medan ini. Akhirnya kami sampai juga di gerbang hutan. Aku melihat tulisan Hutan Larangan pada gapura gerbang itu.

“Lennen tua hanya bisa mengantar kalian sampai disini. Jaga diri kalian di dalam hutan. Jika kalian telah kembali, hubungi kami sesegera mungkin. Kalian lihat sendiri kan, di daerah ini sinyal telepon masih cukup kuat,” ujar Mark.

“Terima kasih atas bantuanmu, Lennen tua!” sahut Awald.


Mark pun pergi meninggalkan daerah ini dengan mobilnya. Tinggallah kami berempat di hutan yang sepi ini. Aku tidak merasakan aura yang suram ataupun angker di hutan ini. Atau mungkin karena aku baru sampai di depan gerbangnya.

“Hei, coba kalian baca tulisan ini!” sahut Rhena.

Kami mendekati sebuah tulisan yang tertulis pada sebuah palang kayu. Tulisan itu dibuat dengan menggunakan spidol. Sebagian hurufnya sulit untuk dibaca karena sudah pudar. Kuperkirakan tulisan ini dibuat lima tahun yang lalu.

“Dilarang masuk kecuali bagi mereka yang terpilih,” kata Joey setelah membaca tulisan itu dengan susah payah.

“Mereka yang terpilih? Siapakah mereka yang terpilih itu?” tanya Rhena.

“Aku juga tidak tahu. Apakah kalimat ini semacam kode yang harus dipecahkan orang-orang yang ingin memasuki hutan ini?” tanya Awald.

“Kita tidak memiliki petunjuk tentang kalimat ini. Mungkin kita bisa menemukan petunjuk di dalam hutan ini,” ujarku.

“Mungkin hanya itu yang bisa kita lakukan sekarang,” gumam Joey.

Kami melangkah mendekati gapura gerbang hutan. Berbagai perasaan tercampur aduk ketika kami semakin dekat untuk melangkahkan kaki ke dalam hutan ini.

“Hutan Larangan ya,” gumamku.

“Ya benar, Hutan Larangan,” gumam Rhena.

“Bagaimana teman-teman? Kalian siap menjalankan misi ini?” tanya Awald.

“SIAP!” teriak kami bersama-sama.

Dengan mengumpulkan segala keberanian yang ada, kami melangkahkan kaki ke dalam kawasan Hutan Larangan Goma. Misi menentang mitos masyarakat setempat baru saja dimulai!


to be continued


Chapter 10: Just Follow Your Heart

0 Responses