Chapter 8: Goma's Myth

Kami terdiam mendengar ucapan yang keluar dari mulut nenek itu. Kebimbangan muncul dalam diri kami, antara percaya atau tidak percaya dengan ucapan itu. Aku sendiri tidak sanggup membaca ekspresi nenek itu, karena belum pernah kuperhatikan ekspresi seperti itu sebelumnya.

“Maaf, Nenek sedang tidak menakut-nakuti kami kan?” tanya Rhena.

“Tentu saja tidak. Manusia burung adalah legenda yang sudah lama ada di gunung ini,” jawabnya.

“Apa Nenek pernah melihat manusia burung secara langsung?” tanyaku.

“Kalau aku sudah pernah melihatnya, mungkin sekarang aku tidak akan bertemu dengan kalian,” jawabnya lagi.

“Kenapa Nenek percaya begitu saja dengan legenda yang bahkan Nenek sendiri belum bisa membuktikan kebenarannya?” tanya Joey.

“Ini adalah perkataan orang-orang tua. Kalian seharusnya tidak meremehkan perkataan orang-orang tua kalau tidak ingin celaka!” tegasnya.

Tidak ada lagi pertanyaan yang kami ajukan. Sepertinya berdebat dengan orang ini hanya akan memperpanjang masalah. Kami berusaha menghabiskan kue dan teh yang dihidangkan secepat mungkin.

“Aku tidak bermaksud membuat kalian takut. Aku hanya ingin memperingatkan kalian agar berhati-hati. Selagi kalian masih berada di kawasan desa ini, kalian akan aman. Manusia burung itu tinggal di dalam hutan gunung ini,” ujar Emma.

“Baik Nek, terima kasih atas peringatanmu,” ujarku.


Pembicaraan yang menegang itupun kami akhiri. Selanjutnya kami hanya mengadakan beberapa pembicaraan ringan. Tidak berapa lama kemudian Awald muncul dari dalam rumah.

“Awald, teman-temanmu cukup ramah dan menyenangkan,” komentar Emma.

“Benarkah Nek?” tanya Awald.

“Iya. Lain kali ajak kembali mereka berkunjung kesini. Aku masih punya banyak cerita untuk mereka,” kata Emma.

“Nek, kami pamit dulu ya. Kami harus kembali sebelum gelap,” kata Joey.

“Hati-hati dalam perjalanan pulang. Jangan pernah lupa dengan ceritaku tadi,” sahutnya.


Awald mengantarkan kami sampai di pagar rumahnya. Sebelum kami pergi, dia menanyakan sesuatu.

“Tadi nenekku menceritakan sesuatu kepada kalian?” tanya Awald.

“Iya,” jawabku.

“Cerita tentang apa?”

“Manusia burung.”

Awald menatapku dengan serius setelah mendengar jawaban itu.

“Sekarang sudah zaman modern. Apakah kau masih percaya dengan mitos seperti itu?” tanyanya.

“Sebenarnya aku juga tidak percaya dengan hal itu. Tapi ekspresi nenekmu itu adalah ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku tidak bisa mengetahui apakah nenekmu itu hanya mendongeng atau serius,” jawabku.

“Belum ada bukti tentang manusia burung itu. Jangan percaya sesuatu yang belum dapat dibuktikan.”

“Kau sendiri bagaimana? Apa reaksimu saat nenekmu menceritakan itu kepadamu?” tanya Rhena.

“Aku diam saja. Percuma melawan kata-kata orang tua. Kau tak akan menang,” keluhnya.


Kami kembali ke rumah sakit pukul 18:23. Untunglah Rhena sudah menyiapkan makan malam sejak tadi siang, sehingga kami bisa langsung makan malam sesampai disana. Kami duduk di atas tikar yang digelar untuk makan dan mengambil makanan sesuai porsi masing-masing. Saat sedang makan, kuperhatikan kegiatan medis di tempat ini masih tetap berjalan meskipun malam hari sudah datang. Dapat kutangkap aura keseriusan dokter-dokter sukarelawan itu untuk segera menghentikan wabah cacar ini. Aku tertarik untuk berbincang-bincang dengan Joey tentang kegiatan ini setelah makan malam.

“Teman-teman, bagaimana rasa masakanku kali ini?” tanya Rhena.

“Luar biasa, Rhena!” sahut Omoni.

“Kelezatan lada hitam benar-benar meresap ke dalam daging ayam ini. Lennen tua belum pernah mencoba makanan yang lebih lezat daripada ini!” sahut Mark tak mau kalah.

Aku memperhatikan ayam goreng lada hitam di piringku. Ayam itu mengingatkanku tentang mitos manusia burung gunung Goma. Benarkah manusia burung itu ada? Ataukah ini hanya sebuah dongeng yang diceritakan turun temurun di desa ini? Kemudian aku juga teringat ekspresi dari Emma tadi sore. Suatu ekspresi yang penuh tekanan, seolah-olah dia merasa berat untuk menyampaikan itu kepada kami, tapi harus tetap disampaikan.

“Fred, kenapa kau memandangi makananmu seperti itu? Tidak enak ya?” tanya Rhena.

“Oh, masakanmu enak kok. Mungkin aku hanya merasa sudah kenyang, jadi aku sulit menghabiskannya,” kilahku.

“Jangan sampai bersisa, Fred.”

Aku memperhatikan ekspresi yang berbeda dari Rhena. Sepertinya dia mengetahui kalau aku masih memikirkan tentang manusia burung itu. Aku harus berhati-hati dalam bersikap, agar orang lain tidak mengetahui keraguanku ini.


Pukul 19:22 aku menemui Joey di sekitar rumah sakit. Dia sedang duduk di sebuah bangku taman yang berkapasitas dua orang. Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya, dan memulai pembicaraan.

“Kau kelihatan sibuk sekali disini ya,” ujarku.

“Begitulah. Kami dikumpulkan kesini dari seluruh penjuru Nirta. Ini berarti kami sedang menjalankan tugas negara,” komentarnya.

“Hei, bagaimana rasanya jadi seorang dokter?” tanyaku.

“Kau sudah tahu jawabannya.”

“Maksudmu?”

“Jika seseorang menanyakan bagaimana rasanya menjadi seorang wartawan kepadamu, maka kau akan menjawab dengan jawaban yang sama,” jawabnya.

“Apakah wabah ini sedemikian parahnya? Kenapa harus ada tim dokter dari seluruh penjuru negara yang menanganinya disini?” tanyaku.

“Wabah ini sebenarnya sudah ada sejak sepuluh hari yang lalu. Awalnya perawatan hanya dilakukan oleh dokter-dokter disini. Tapi karena mereka tak sanggup, mereka meminta bantuan ke Grand Nirta. Dokter-dokter Grand Nirta yang dikirim kesini pun belum mampu menangani penyakit ini, sehingga pemerintah pusat memutuskan untuk mengumpulkan dokter dari seluruh penjuru negara,” jawabnya panjang lebar.

“Kalau begitu, kenapa tim dokter hari ini baru melakukan diagnosis?” tanyaku lagi.

“Bukan baru melakukan diagnosis, tapi melanjutkan diagnosis sebelumnya yang selalu tidak membuahkan hasil,” sahutnya.

“Sudah adakah pasien yang meninggal dunia karena penyakit ini?”

“Sekitar dua belas orang sudah meninggal selama sepuluh hari terakhir karena penyakit itu.”


Aku tidak tahu lagi apa yang harus kutanyakan padanya. Suasana menjadi hening. Menyadari keadaan yang demikian, Joey angkat bicara.

“Fred, terima kasih sudah menjaga Rhena selama beberapa hari ini,” ujarnya.

“Sama-sama Joey. Walau bagaimanapun dia juga adikku,” jawabku.

“Mungkin dia memang sumber masalah. Kau termasuk orang yang hebat karena tahan tinggal bersamanya,” gumam Joey.

“Kau lebih hebat lagi. Dua puluh tahun kau habiskan bersamanya dengan sabar,” balasku.

“Hahaha, mungkin karena aku sudah terbiasa dengannya hampir setiap hari,” jawabnya.


Sudah empat hari aku habiskan bersama dokter-dokter ini. Keadaan tidak membaik, tetapi semakin memburuk. Cacar yang diderita warga As adalah jenis cacar baru yang belum pernah diketahui sebelumnya. Para ahli farmasi pun kesulitan membuat vaksin untuk cacar ini. Wajah-wajah dokter yang pada hari pertama kulihat sangat bersemangat sekarang sudah menunjukkan tanda-tanda keputusasaan.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya salah seorang dokter kepada Caesar.

“Tetap jalankan tugas masing-masing. Siapa tahu kita bisa mendapatkan sesuatu yang tidak kita sadari sebelumnya,” jawab Caesar.

“Tapi obat-obatan yang kita miliki semuanya sudah dipakai, dan hasilnya tidak ada,” sahut dokter lainnya.

Caesar tertunduk mendengarkan kenyataan itu. Dia sepertinya benar-benar kehilangan harapan.

“Andaikan ada obat yang bisa mengobati seluruh penyakit,” gumam Caesar.

“OBAT ITU ADA!”

Kami terkejut ketika mendengarkan suara itu. Suara itu berasal dari seorang wanita tua yang datang kepada kami.

“Nenek! Apa yang Nenek lakukan disini?” seru Awald.

“Aku akan memberitahu kalian tentang obat yang bisa mengobati seluruh penyakit!” seru Emma.

“Benarkah Nek? Adakah obat seperti itu?” tanya Caesar.

“Buah yang hanya tumbuh di gunung Goma, yaitu buah gogo. Hutan-hutan di gunung ini adalah habitat tumbuhan itu. Tapi resiko mengambil buah itu sangat besar!” jawabnya.

“Apa resikonya?”

“Kau mungkin akan bertemu dengan manusia burung, dan tidak akan pernah kembali untuk selamanya!”


to be continued


Chapter 9: Forbidden Jungle

0 Responses