Chapter 21: Battle Against Parker and Lim

Lim menarik kembali pedangnya. Ia terbang keluar ruangan ini. Sepertinya duel pedang tidak akan menarik jika dilakukan di dalam ruangan yang sempit seperti ruangan yang kutempati sekarang. Maka aku mengejarnya keluar melalui jendela kaca yang semakin pecah akibat getaran yang dihasilkan pedang yang beradu tadi. Baru saja aku keluar lagi-lagi aku dihujani tiga buah anak panah. Mata-mata runcing dari panah tersebut benar-benar terlihat menginginkan darahku. Untung saja kali ini aku sudah memegang pedang Bintang Merah, sehingga aku bisa menangkis semua panah itu dan membuat mereka terlempar tak berdaya ke udara. Pertarungan ini sepertinya memang cukup melelahkan, karena aku akan diserang panah dan pedang berkecepatan tinggi secara bergantian. Aku harus memikirkan strategi yang tepat untuk mengalahkan mereka berdua.

Aku kembali dihujani panah-panah buas dari crossbow Parker. Kali ini aku harus menghindarinya, karena jumlahnya cukup banyak. Kemudian ketika serangan panah itu berhenti, maka aku yakin bahwa lawan yang harus kuhadapi selanjutnya adalah Lim. Benar saja, ia telah menantiku di dekat pohon besar yang sempat menahan gerakannya tadi. Kali ini ia lebih siaga, ia tidak mengayunkan pedangnya langsung kepadaku. Mungkin ia tahu bahwa cara seperti itu tidak efektif dilakukan kepada lawan yang juga memegang pedang. Maka aku bisa memulai duel dengan serangan-serangan pendek. Pedang kami saling berayun, saling beradu, saling berusaha menunjukkan siapa yang pantas pertama kali merobek kulit lawan. Bertarung di udara adalah keuntungan bagiku, karena memberikan ruang yang cukup luas bagiku untuk menyerang dan menghindar. Tentu saja, juga keuntungan baginya, karena ia juga bisa terbang sepertiku. Di saat duel ini, tidak ada satu pun anak panah yang melesat ke arah kami. Hanya saja, kuperhatikan Parker dalam posisi siap untuk menembakkan anak panah dari laras crossbownya. Pada suatu momen, aku mengayunkan jurus pedang yang cukup cepat ke arah Lim. Tapi ia benar-benar seorang yang sangat menguasai ilmu pedang. Seranganku yang sangat cepat itu berhasil di tangkisnya, sehingga pedang kami kembali beradu dan mengeluarkan suara lentingan yang memekakkan telinga.
“Tamat riwayatmu, Fea!” ujar Lim terengah-engah.
“Kau salah, justru kaulah yang akan tamat!” jawabku yang juga terengah-engah.

Tapi akhirnya aku menyadari maksud dari perkataannya barusan. Walaupun tidak melihat langsung, tapi aku bisa mengetahui bahwa saat ini ada beberapa anak panah yang melesat ke arahku. Celakanya, kali ini aku dalam posisi beradu pedang. Jika aku bergerak, maka Lim akan mengambil kesempatan itu untuk menebasku. Tapi jika aku tetap diam, maka panah-panah ini akan mengakhiri hidupku. Hanya ada satu cara bagiku untuk lepas dari keadaan ini, tapi aku tidak yakin apakah aku bisa melakukannya.
“Jurus rahasia, Lompatan Belalang Hitam!”
Aku akhirnya mengeluarkan jurus rahasia yang kumiliki tersebut. Sambil tetap mempertahankan pedang yang beradu, aku mengeluarkan segenap tenaga yang kumiliki untuk melompat ke belakang Lim. Ketika tepat berada di atas kepalanya, aku memutar badanku dengan tetap mempertahankan posisi pedang. Maka setelah lompatan itu berhasil, aku telah mengunci gerakannya dari arah belakang. Aku mendorong badanku sedikit ke depan, sehingga ia juga ikut terdorong.
“Aaaarrrrggghhhhh!” teriak Lim.
Aku telah berhasil mengubah mangsa anak panah itu. Tujuh anak panah yang seharusnya memangsaku kali ini telah berubah haluan dengan memangsa Lim. Parker terkejut dengan apa yang dilihatnya barusan. Aku menyadari bahwa aku hanya punya sedikit waktu sebelum Parker menyerangku lagi. Maka aku tarik pedang Bintang Merah yang telah mengunci Lim dan menghantarkannya menuju eksekusi panah kelaparan. Untuk memastikan kematiannya, aku menusuk jantungnya dari belakang. Pedang Bintang Merah menembus jantung hingga ke dadanya, sehingga darah segar muncrat dari lubang yang kubentuk di bagian vitalnya itu. Cairan merah itu melumuri pedangku yang juga berwarna merah, sehingga kali ini merahnya semakin menyala. Benar-benar bagaikan sebuah bintang merah di tengah kegelapan Askoriwimi.
“Kurang ajar kau, Fea! Kau harus membayar semua ini!” teriak Parker dengan penuh kegeraman.

Dia melesatkan anak panah ke arahku yang masih membiarkan pedang Bintang Lima di dada Lim. Karena aku tidak punya cukup waktu, maka aku menjadikan tubuh tak bernyawa dari Lim sebagai tameng untukku dari panah-panah tersebut. Semua anak panah itu menancap di tubuh Lim. Tentu saja, ia tak akan merasakan sakit lagi. Jika Valen Norka masih ada, tentu saja ia tak akan menyia-nyiakan seorang pendekar pedang yang hebat seperti Lim untuk menjadi zombienya. Aku membayangkan jika seandainya aku tahu teknik apa yang dilakukan Valen untuk membuat zombie, tentu saja aku akan memanfaatkan Lim untuk menghancurkan Parker dan juga pemerintah Askoriwimi. Tapi aku tidak patut memikirkan hal itu. Valen sudah mati, begitu juga dengan ilmunya. Yang harus kupikirkan sekarang adalah bagaimana cara membereskan Parker yang menyerang dari jarak jauh dalam waktu sesingkat-singkatnya dan menyelamatkan AVRO. Maka kucabut pedang Bintang Merah dari dada Lim, sehingga jasadnya jatuh ke tanah. Aku terbang dengan cepat ke arah Parker. Aku ingin menebasnya dengan kecepatan tinggi dan mengakhiri pertarungan ini. Tapi rencanaku tidak berjalan semulus apa yang kupikirkan. Sembari aku terbang mengejarnya, ia juga terbang mundur dengan kecepatan yang cukup tinggi dan terus menembakkan panahnya ke arahku. Lama kelamaan aku mulai kesulitan menangkis dan menghindari hujan panah ini. Entah karena aku kelelahan atau memang keberuntunganku untuk menghindar sudah hilang. Aku sadar tidak semua panah itu berhasil kuelakkan atau kutangkis. Tiga anak panah yang dilepaskan dari crossbow itu akhirnya mengenai mangsanya. Di bahu kananku bersarang satu, di paha kiriku bersarang dua. Karena aku terbang sangat cepat, jantungku pun memompa darah dengan sangat cepat. Maka tentu saja darah segar yang keluar dari luka-luka itu mengalir dengan sangat cepat. Aku terus berusaha mengejarnya. Tapi tubuhku sudah tidak sejalan lagi dengan tekadku. Aku terbang semakin lambat, semakin rendah, semakin mendekati tanah, dan akhirnya jatuh tersungkur.

Kepalaku pusing. Mataku berkunang-kunang. Pandanganku redup. Lidahku kelu. Tubuhku gemetar, dingin, tak dapat digerakkan. Kesimpulan yang bisa kuambil, aku kehilangan terlalu banyak darah. Walaupun demikian aku dapat mendengar suara teriakan penuh kemenangan dari atas.
“Hahaha, akhirnya aku dapat melukaimu! Tapi kau sungguh keterlaluan, hampir semua anak panah yang kumiliki habis! Untung aku masih memiliki satu lagi, yang sepertinya memang ditakdirkan untuk mengirimmu ke neraka!” sorak Parker.
Aku mengumpulkan segenap tenaga yang tersisa. Aku bisa mendengar dengan jelas, ia hanya memiliki satu lagi anak panah. Ya, hanya satu! Jika aku bisa menghindarinya, maka aku masih punya kesempatan untuk hidup. Tapi jika tidak, maka panah itu akan menjadi saksi bisu kematianku. Aku tak punya pilihan, aku harus hidup! Panah itu tak boleh membunuhku! Akan tetapi, darah ini mengucur semakin deras. Aku semakin tak berdaya. Aku benar-benar tidak bisa lagi menguasai tubuhku.
“Aku ingin memberikanmu kesempatan untuk mengucapkan kata-kata terakhir, tapi aku yakin kau tak mampu lagi bicara. Sudahlah, simpan saja kata-kata itu di hatimu!” teriak Parker.

Dia benar-benar serius dengan ucapannya. Satu anak panah terakhir itu melesat dari laras crossbow. Aku benar-benar tak bisa bergerak. Semua tenaga yang kukumpulkan barusan sirna. Ya, aku tamat! Aku tidak bisa memberitahu rencana jahat pemerintah kepada rekan-rekan AVRO. Konsekuensinya, AVRO akan turut binasa malam ini juga. Hanya tinggal sepersekian detik sebelum panah itu benar-benar membunuhku. Tapi dalam sepersekian detik itu juga, aku bisa merasakan sesuatu yang besar bergerak sangat cepat ke arahku. Dalam sekejap mata, sebuah pedang besar berwarna hitam berayun ke arah anak panah itu. Anak panah yang malang itu pun terpental dan patah dalam kondisi yang mengenaskan. Samar-samar aku bisa melihat pedang hitam itu. Tak salah lagi, itu pedang Naga Hitam.
“Fea, bertahanlah sebentar saja!” seru Gudi.
Aku hanya diam mendengarkan suara itu. Tak ada sedikitpun yang dapat kulakukan untuk merespon. Setelah itu semua berlangsung dengan sangat cepat. Gudi terbang ke arah Parker dan memenggal kepalanya dalam satu kali tebasan. Setelah tugasnya selesai, ia menghampiriku.
“Kondisimu terlalu parah. Kau begitu kelelahan dan kehilangan banyak darah. Sepertinya lawan yang kau hadapi cukup tangguh,” ujar Gudi.
Dia merobek sebagian bajuku untuk dijadikan pengikat lukaku agar berhenti. Setelah itu dia mengeluarkan sebuah botol kecil yang berisi semacam cairan berwarna merah darah.
“Minumlah, kau akan merasa lebih baik.”

Aku meminum cairan yang pekat seperti darah itu. Tidak berapa lama aku merasa tenagaku kembali. Rasa sakit yang kualami juga berkurang.
“Minuman apa ini?” tanyaku heran.
“Jus buah gogo, obat segala penyakit. Buah ini hanya tumbuh di gunung Goma. Tidak banyak orang yang mengetahui tentang buah ini, termasuk warga Askoriwimi sendiri.”
“Kenapa kau ada disini?” tanyaku lagi.
“Aku merasa ada keributan di sekretariat, karena itu aku menuju kesana. Sesampai disana, aku melihatmu terbang mengejar Parker yang terus menembakimu. Karena itu aku mengejar kalian berdua. Tapi kalian terbang terlalu cepat, aku sampai tak sanggup mengejarnya,” jelasnya.
Aku kemudian menceritakan rencana pemerintah kepada Gudi. Setelah aku selesai bercerita, Gudi menjawab dengan tenang.
“Sudah kuduga, pemerintah berencana untuk membinasakan organisasi kita. Tenang saja, aku dan Letu sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Karena itu aku telah membuat suatu rencana untuk mengantisipasinya!” jawabnya mantap.

to be continued

0 Responses