Chapter 16: Letu's Explanation

Dua ribu zombie itu mulai bergerak ke arah kami. Aku menyadari keadaan ini sangat merugikan bagi kami. Pertama, dari segi jumlah jelas kami kalah jauh. Kedua, zombie-zombie yang baru muncul tersebut memiliki persenjataan yang lebih lengkap dibandingkan sebelumnya. Ketiga, mereka tidak bisa mati, sedangkan kami bisa. Pandanganku kembali tertuju kepada lelaki yang mengendalikan zombie-zombie itu. Dia bahkan belum memperkenalkan siapa dirinya, selain hanya mengakui bahwa dialah yang mengirim surat ancaman tersebut. Tapi ini bukan waktunya untuk memikirkan semua itu. Aku tidak punya pilihan lain, selain mundur untuk saat ini.

“SEMUANYA, MUNDUR!” teriakku.

Kami segera membentangkan sayap untuk bersiap terbang. Namun, lelaki itu sepertinya telah siap mengantisipasi apapun yang akan kami lakukan.

“Pasukan pemanah, jangan biarkan mereka kabur!” perintahnya.

Sekitar tiga ratus zombie pemanah mengarahkan sasarannya kepada kami. Mereka benar-benar mematuhi apa yang diperintahkan lelaki itu tanpa membantah sedikitpun. Panah-panah pun terlepas dari busur yang mereka pegang, melesat dengan sangat cepat ke arah kami.

“Aaaarrrrggghhhh!”

Panah itu tepat mengenai salah seorang Vog. Ternyata tidak hanya selesai sampai disitu. Beratus-ratus panah yang melesat itu mengenai lima belas orang Vog lain. Aku beserta tiga orang Vog lain yang masih selamat, mengerahkan segenap kekuatan untuk terbang secepat mungkin dari tempat itu. Beruntung kami berhasil melarikan diri dari tempat itu.


Setelah kami merasa sudah cukup jauh dari mereka, kami mengurangi kecepatan terbang. Kami harus menemukan Vog lain untuk memberikan informasi tentang zombie-zombie itu kepada mereka. Saat sedang terbang, aku menyadari ada Vog lain yang terbang menghampiri kami.

“Kemana kalian? Dimana yang lain?” tanya Vog itu, yang ternyata adalah Letu.

“Empat orang Vog aku perintahkan untuk mengungsikan empat orang penduduk dari hutan raya. Sedangkan enam belas orang lain, sudah gugur,” jawabku.

“Gugur? Apa maksudmu? Kau sudah menemukan pengirim surat ancaman itu?” tanya Letu lagi.

“Sudah, dan mereka adalah suatu kelompok besar.”

“Berapa orang dari mereka?”

“Sekitar dua ribu orang, dan mereka bukan orang biasa.”

“Siapa mereka?”

“Mereka adalah zombie. Mereka tidak bisa mati. Bahkan mereka tidak merasakan sakit dan lelah sedikitpun.”

Letu terdiam. Sepertinya dia bukan diam karena tercengang, tapi karena ada sesuatu yang muncul di pikirannya.

“Fea, kita harus kembali ke sekretariat! Semua pasukan harus ditarik mundur. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepada mereka semua!” seru Letu.

Aku menyetujui rencananya. Meskipun ia adalah anggotaku di bidang hubungan masyarakat, namun aku tahu bahwa dalam keadaan ini ia lebih berkapasitas dibandingkan denganku. Maka kami berlima terbang menuju sekretariat AVRO.


Tak lama kemudian kami sampai di sekretariat. Letu segera menghampiri mercusuar yang berada di sebelah barat sekretariat tersebut. Mercusuar setinggi sepuluh meter itu selalu menyala pada malam hari, dengan cahaya lampu berwarna putih. Selain sebagai pemandu jalan ke sekretariat di malam hari, mercusuar itu sendiri sebenarnya memiliki isyarat rahasia yang hanya dimengerti anggota AVRO. Pada mercusuar itu terdapat dua jenis lampu, yaitu lampu bercahaya putih dan merah. Jika lampu merah menyala, berarti ada suatu keadaan darurat, sehingga semua anggota harus kembali ke sekretariat sesegera mungkin. Tentu saja cara tersebut memang hanya berlaku untuk malam hari. Sedangkan jika terjadi keadaan darurat di siang hari, maka cara konvensional digunakan, yaitu dengan membuat sinyal berupa asap yang mengepul ke udara. Setelah memasuki ruang kontrol, Letu mengganti nyala lampu mercusuar itu menjadi merah. Gudi yang tetap berada di sekretariat, menyadari kedatangan kami dan segera menghampiri kami.

“Letu! Apakah telah terjadi keadaan darurat?” tanya Gudi.

“Benar Pak! Musuh telah ditemukan, tapi keadaannya benar-benar di luar dugaan. Kita harus berkumpul kembali, sebab ada yang akan kuceritakan!” jawab Letu.

“Seperti apa musuh yang kita hadapi?” tanyanya lagi.

“Akan kuceritakan nanti, setelah kita semua berkumpul.”


Beberapa menit kemudian, beratus-ratus Vog datang dari berbagai penjuru. Tanpa dikomando, mereka segera berbaris di sekitar mercusuar tersebut.

“Semuanya, dengarkan! Ada informasi penting yang akan disampaikan oleh Letu Rir!” seru Gudi.

Gudi memberikan kesempatan kepada Letu untuk berbicara. Ia menghela nafas sejenak, kemudian mulai berbicara.

“Kepala bidang hubungan masyarakat, Fea Edu, beserta beberapa Vog yang ikut bersamanya, telah menemukan musuh. Namun mereka kalah, baik dari segi jumlah maupun segi kekuatan!”

Semua Vog mendengarkan informasi itu dengan serius. Informasi ini tentu sangat penting. Tidak mungkin lampu darurat akan dinyalakan jika informasi ini tidak begitu penting.

“Fea Edu beserta pasukannya yang hanya berjumlah dua puluh tiga orang harus menghadapi dua ribu orang musuh yang mustahil untuk dikalahkan. Mereka adalah para zombie! Mereka adalah mayat yang dihidupkan kembali. Aku sendiri tidak tahu bagaimana cara mereka hidup kembali. Mereka tidak bisa merasakan sakit, lelah, maupun mati. Mereka tidak mempunyai akal pikiran dan perasaan. Semua yang mereka lakukan adalah perintah dari seseorang yang mengendalikan mereka,” terang Letu.

“Seseorang yang mengendalikan mereka? Aku belum menceritakan itu kepadamu, tapi kenapa kau bisa mengetahuinya?” tanyaku heran.

“Sebenarnya aku pun belum bisa memastikan apakah argumenku ini benar atau tidak. Tapi aku sendiri cukup yakin dengan hal itu,” jawabnya.

“Kenapa kau bisa yakin?”

“Karena aku pernah bersahabat dengan seseorang yang begitu percaya dengan adanya zombie.”


Jawaban dari Letu itu membuat kami semua tercengang. Bisa kutebak, lelaki yang mengendalikan zombie-zombie itu adalah orang yang dimaksudkan oleh Letu. Tapi aku sadar bahwa semua itu masih bersifat asumtif. Bisa jadi sahabat lama Letu itu memang begitu percaya dengan zombie, tapi lelaki yang mengendalikan zombie-zombie di hutan raya tadi adalah orang lain yang tidak ada sangkutpautnya dengan orang yang diceritakan Letu.

“Fea, apakah di pipi kanan orang itu terdapat tiga bekas luka cakaran?” tanya Letu.

“Entahlah, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena gelapnya malam. Satu-satunya yang bisa kulihat adalah warna pakaiannya,” jawabku.

“Apa kau punya informasi lain?” tanyanya.

“Informasi lain? Oh, aku ingat. Dia sempat berkata bahwa dia akan menjadi raja Askoriwimi, dengan warga yang mendukungnya, dan zombie-zombie sebagai pelayannya. Sepertinya hal itu berkaitan dengan isi surat ketiga, yaitu mengganti Askoriwimi lama dengan yang baru. Aku yakin dia akan menghabisi siapa saja yang tidak mendukungnya,” jawabku lagi.

“Ada kemungkinan dia akan membuat zombie-zombie baru dari setiap orang yang dibunuhnya,” tambah Letu.


Untuk kedua kalinya kami tercengang mendengar keterangan dari Letu. Semua argumen yang diberikannya benar-benar masuk akal.

“Berarti dia tidak perlu khawatir membunuh setiap warga yang menentangnya. Sebab dengan membunuh satu orang musuh, dia akan memperoleh satu orang pelayan yang akan mematuhinya secara mutlak,” kata Gudi.

“Benar sekali Pak. Dia adalah orang sangat fanatik akan zombie. Dia ingin menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, lalu menjadi raja atas mayat-mayat tersebut. Meskipun demikian, dia cukup rasional. Dia tahu bahwa menghidupkan kembali orang-orang mati adalah suatu hal yang tidak mungkin. Karena itu, konsep yang dibuatnya adalah bagaimana cara menggerakkan kembali tubuh-tubuh yang telah mati tersebut hanya apabila diberikan perintah olehnya. Setidaknya, itulah dia ceritakan dulu kepadaku,” kata Letu.

“Jadi, dia memang sahabatmu dulu?” tanyaku.

“Sepertinya begitu. Sahabat lamaku yang tergila-gila akan zombie, Valen Norka.”


to be continued


Chapter 17: Old Friends Reunion

0 Responses