Chapter 15: Zombie Attack

Surat ketiga yang dikirimkan oleh sang pengirim misterius itu benar-benar membuat kami gempar. Selama ini belum ada seorang kriminal pun yang memiliki tujuan untuk menghancurkan Askoriwimi. Ditambah lagi tulisan darah yang menurut surat itu adalah darah dari penggali terowongan bawah tanah, semakin memberikan kesan bahwa kriminal yang akan kami hadapi saat ini adalah orang-orang yang tidak boleh dianggap remeh.

“Dengarkan instruksiku! Segera bergerak untuk mengamankan Askoriwimi, terutama dari arah hutan raya! Jalankan instruksi sesuai dengan strategi yang telah kita rancang tadi!” perintah Gudi.

“Baik Pak!”

Pikiranku tidak hanya tertuju kepada keamanan Askoriwimi, tapi juga kepada Nio dan keluarga Tifa. Rumah Tifa cukup dekat dengan hutan raya, sehingga besar kemungkinan mereka termasuk sasaran awal dari serangan tersebut.

“Pak, aku ingin pergi ke hutan raya. Ada beberapa orang yang ingin kulindungi disana,” pintaku.

“Apa kau yakin? Kalau seandainya kau mati, maka AVRO akan kehilangan kepala bidang hubungan masyarakatnya,” jawab Gudi.

“Jika aku mati, maka banyak orang yang bisa menggantikanku. Tapi jika temanku mati, maka tidak ada yang bisa menggantikannya,” ujarku.

Gudi terdiam sejenak. Sepertinya dia masih berat untuk melepasku.

“Berjanjilah untuk tetap hidup,” katanya.

Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. Dengan pedang Bintang Merah sebagai senjata utamaku, aku terbang meninggalkan sekretariat AVRO menuju hutan raya.


Udara malam di Askoriwimi saat itu cukup dingin. Angin gunung mulai berhembus kencang dari puncak Goma. Tapi aku yakin dinginnya malam ini akan segera berganti dengan panasnya pertempuran. Sepuluh menit sudah berlalu sejak surat ketiga datang, itu berarti lima menit lagi serangan pertama akan dimulai. Aku terbang lebih cepat agar tidak terlambat sampai di rumah Tifa. Sejumlah Vog lain juga ikut terbang bersamaku menuju hutan raya. Ada diantara mereka yang memegang pedang, panah, dan juga crossbow. Kami semua diselimuti rasa penasaran, seperti apakah lawan yang akan kami hadapi. Mungkin mereka adalah sekelompok kriminal terlatih dengan persenjataan lengkap, mungkin mereka adalah bekas pejuang perang, atau mungkin saja mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu hitam.


Tak lama kemudian aku sampai di rumah Tifa. Aku mendapati Nio beserta keluarga Tifa sedang duduk di depan rumah Tifa. Sepertinya acara makan malam itu belum dimulai. Nio yang menyadari kedatanganku segera menanyaiku.

“Fea, kenapa kau ada disini? Bukankah seharusnya kau mengontrol patroli malam ini?” tanyanya heran.

Dia terlihat semakin heran tatkala melihat serombongan Vog lain yang ikut bersamaku. Biasanya hanya satu atau dua Vog yang berpatroli di daerah itu.

“Kenapa banyak sekali Vog disini?” tanyanya lagi.

“Ceritanya panjang. Sekarang yang penting, kuminta kalian untuk meninggalkan tempat ini sekarang juga. Mengungsilah ke tempat yang jauh dari daerah ini!”

“Tunggu, memangnya apa yang terjadi? Tidak mungkin kami pergi saja tanpa ada alasan yang jelas kan?”

“Tidak lama lagi akan terjadi peperangan di daerah ini. Demi keselamatan kalian, mengungsilah!”


Jawaban terakhirku membuat mereka terdiam. Tifa dan ibunya terlihat ketakutan. Ayah Tifa tampak berpikir keras. Sedangkan Nio menunjukkan raut muka setengah percaya.

“Peperangan? Dengan siapa kalian akan berperang?” tanya Nio.

“Kami juga tidak tahu. Sejak tadi siang kami menerima surat-surat misterius. Surat terakhir mengatakan bahwa mereka akan melakukan serangan, dan itu ditulis dengan darah. Mereka mengatakan darah itu adalah darah para penggali terowongan bawah tanah di hutan raya,” jawabku.

“Hutan raya? Berarti mereka akan muncul dari tempat yang tidak jauh dari sini?”

“Tepat sekali. Karena itu kami semua bergerak ke arah sini.”

“Jika mengungsi, kemana kami harus mengungsi?” tanya ayah Tifa.

“Untuk sementara, pergilah ke kaki gunung. Kumohon, bergeraklah cepat!” jawabku.

“Berapa lama lagi mereka menyerang?” tanya Tifa.

“Hei, lihat ke arah sana! Siapa itu?” seru seorang Vog sambil menunjuk ke arah hutan.


Kami semua memandang ke arah tersebut. Segerombolan orang bersenjata muncul dari arah tersebut. Ada yang membawa kapak, ada yang membawa pedang, dan ada juga yang hanya membawa pisau. Mereka berpakaian seperti orang biasa, tidak terlalu mencolok. Ekspresi mereka datar, atau lebih tepatnya tidak ada ekspresi sedikitpun yang terpancar dari wajah mereka. Mereka sedikit kaku, seperti mayat.

“Apa mereka penduduk desa ini?” tanya Vog yang lain.

“Aku tidak yakin. Tidak ada pemukiman di dalam hutan raya,” jawabku.

“Apakah mereka yang mengirim surat itu?” tanya Tifa.

“Mungkin saja, tapi kita harus memastikan bahwa itu memang mereka,” jawabku.

Untuk mengurangi resiko diserang, aku pun terbang ke arah mereka. Mereka memandangiku yang semakin mendekati mereka. Tapi tetap saja pandangan itu dingin, tanpa ekspresi.

“Aku Fea Edu, anggota Askoriwimi Vog Ranger Organization. Aku ingin kalian melaporkan identitas kepadaku,” seruku dari udara.

Tidak ada jawaban dari mereka. Aku merasa sedang berbicara di hadapan orang-orang yang tidak punya lagi jiwa manusianya.

“Sekali lagi, jawab pertanyaanku! Sebutkan identitas kalian!”

Tiba-tiba saja salah satu dari mereka yang bersenjata kapak melemparkan kapaknya kepadaku. Kapak itu berputar di udara dan terbang dengan begitu cepatnya ke arahku. Aku mengayunkan pedang Bintang Merah untuk menangkis lemparan kapak itu. Kapak itu beradu dengan pedangku, kemudian jatuh dan menancap dengan mantap di tanah.

“FEA! Kau baik-baik saja?” seru Nio.

Tanpa dikomando, Vog lain segera berlari menuju mereka untuk menyerang. Aku terbang kembali ke pasukan, untuk ikut menyerang secara bersama. Orang-orang itu memang tidak bicara, tapi sepertinya mereka tahu apa yang harus dilakukannya. Mereka pun berlari ke arah kami dengan menghunuskan senjata masing-masing.


Dalam waktu singkat peperangan telah dimulai. Jumlah kami lebih sedikit dibandingkan mereka, tapi sepertinya kami lebih kuat. Ditambah lagi mereka tidak punya pasukan pemanah, sedangkan kami memiliki itu. Kami menaklukan mereka tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Tapi meskipun mereka tidak memiliki kekuatan serang yang besar, daya tahan mereka cukup kuat. Setiap dari mereka yang tumbang akan segera bangkit lagi. Setelah cukup lama, aku mulai merasakan ada sesuatu yang janggal.

“MUNDUR!” teriakku.

Kami semua terbang kembali ke arah rumah Tifa. Semuanya tampak begitu lelah.

“Tidakkah kalian pikir ini janggal? Kita sudah memberikan serangan bertubi-tubi kepada mereka, tapi kenapa mereka tetap bisa bangkit?” ucapku terengah-engah.

“Aku juga merasa begitu. Bahkan sepertinya mereka sama sekali tidak merasakan sakit maupun lelah,” jawab seorang Vog.

“Kalau begini keadaannya, kita bisa kehabisan tenaga dan dikalahkan oleh mereka,” kataku.

“Fea! Siapa mereka sebenarnya? Kenapa mereka tidak bisa mati?” tanya Nio.

“Aku tidak tahu. Sebaiknya sekarang kau melarikan diri bersama Tifa dan orangtuanya. Aku akan menyuruh empat Vog untuk mengantar kalian,” jawabku.


Aku kemudian menginstruksikan empat Vog untuk membawa mereka terbang ke kaki gunung. Sementara itu, orang-orang bersenjata tadi terus mendekati kami. Kami bersiap untuk menyerang kembali. Namun, tiba-tiba langkah kaki orang-orang tadi terhenti. Tidak ada alasan yang jelas kenapa mereka berhenti, namun menurutku ada suatu perintah yang diberikan kepada mereka sehingga mereka berhenti.

“Kerja yang bagus, Askoriwimi Vog Ranger Organization. Kalian benar-benar sigap menanggapi surat ancaman dariku.”

Mataku tertuju kepada seorang laki-laki yang muncul dari dalam hutan. Dia berbeda dari orang-orang bersenjata ini. Dia mengenakan jas coklat yang berpadukan dengan celana berwarna sama dengan jasnya. Dia tersenyum, meskipun sangat jelas bahwa senyumnya tidak bermakna positif bagi kami.

“Siapa kau?” tanyaku.

“Aku adalah orang yang mengirimkan surat ancaman kepada organisasimu. Aku akan menepati janjiku di dalam surat itu, yaitu mengganti Askoriwimi lama dengan Askoriwimi baru. Askoriwimi dengan aku sebagai rajanya, rakyat yang mendukung kekuasaanku, dan zombie-zombie ini sebagai pelayanku! Hahahahaha!” jawabnya panjang.

“Apa? Zombie?”

“Benar! Mereka adalah zombie-zombie buatanku. Tidak ada gunanya kalian menyerang mereka, karena mereka hanyalah mayat hidup. Mereka akan selalu bangkit lagi setiap kalian menjatuhkan mereka.”

“Bagaimana cara kau melakukannya?”

“Hahaha, itu bukan urusanmu! Baiklah, aku akan menunjukkan sesuatu yang menarik kepadamu! Zombie, keluarlah!”

Tiba-tiba saja keluarlah zombie-zombie dengan jumlah yang sangat banyak dari dalam hutan. Aku tidak bisa menghitung jumlahnya. Mungkin sekitar lima ratus, tujuh ratus, seribu, seribu lima ratus, atau bahkan dua ribu. Kali ini kami benar-benar kalah jumlah. Kami yang hanya dua puluh orang, harus berhadapan dengan zombie yang jumlahnya hampir dua ribu orang.


to be continued


Chapter 16: Letu's Explanation

0 Responses