Joey mengeluarkan seutas tambang berwarna coklat tua dari dalam tasnya. Tambang itu cukup besar dan kuat. Panjangnya sekitar tiga meter. Joey mengulurkan tambang itu ke dalam lubang.
“Kalian turunlah dulu dengan tali ini. Aku akan memegang tali ini dari atas,” sahut Joey.
Aku mengambil giliran pertama. Kuturuni lubang itu dengan bantuan tali yang dipegangi Joey. Tali itu masih tergantung sekitar satu setengah meter dari permukaan lubang. Tapi itu bukan masalah, karena aku bisa melompat dengan aman dari ketinggian satu setengah meter. Awald menjadi orang kedua yang turun ke lubang ini. Giliran terakhir adalah milik Joey. Karena tidak ada orang lain yang bisa dijadikan sebagai pemegang tambang, maka dia langsung melompat ke dalam lubang itu. Pendaratan yang dilakukannya cukup sempurna, sehingga dia tidak mengalami cedera akibat lompatan itu.
“Ayo kita telusuri jalan ini! Aku yakin Rhena dibawa melalui jalan ini!” seru Joey.
"Nyalakan sentermu, karena di dalam ini cukup gelap," kata Awald.
Kami menelusuri terowongan yang ada di depan kami. Tinggi terowongan itu kira-kira dua meter, dengan lebar sekitar dua meter juga. Permukaan terowongan ini cukup kuat, begitu juga dengan dinding di samping kiri dan kanannya. Jika dilihat dari segi struktur, terowongan ini sepertinya dibuat oleh alam. Tapi jika dilihat dari segi kerapian, terowongan ini sepertinya dibuat oleh manusia, karena terowongan ini memiliki perbandingan-perbandingan matematis yang sangat tepat. Setelah berjalan sekitar dua puluh meter, aku mulai menyadari bahwa terowongan ini hanya sempit di gerbangnya saja. Semakin ke dalam ukurannya semakin luas. Tinggi terowongan di bagian dalam sekitar tiga meter, sedangkan lebarnya mencapai empat meter. Hawa terowongan ini cukup sejuk. Padahal seharusnya dalam keadaan normal terowongan ini cukup pengap meskipun berada di gunung. Aku yakin ada sebuah sistem sirkulasi udara tradisional yang berteknologi tinggi disini.
“Aku yakin terowongan ini buatan manusia. Aku penasaran siapa arsitek di balik semua ini,” gumamku.
“Aku sependapat denganmu. Apakah hutan ini menjadi larangan karena adanya terowongan ini?” tanya Joey.
“Aku belum bisa menjawab pertanyaanmu. Sepertinya masih banyak misteri yang tersimpan disini,” jawabku.
Sudah sekitar tiga puluh menit kami berjalan di terowongan bawah tanah ini. Sejauh ini masih belum terjadi hambatan pada perjalanan kami. Tidak ada jebakan, rintangan, maupun hewan-hewan melata yang berbahaya di terowongan ini. Yang ada hanya hewan-hewan kecil seperti semut, kadal, dan juga tikus tanah. Hambatan pertama yang kami temui adalah sebuah persimpangan di terowongan ini.
“Ada persimpangan disini,” gumam Awald.
“Coba kau lihat papan yang tergantung itu!” seru Joey sambil menunjuk ke sebuah papan yang tergantung di atas gerbang persimpangan sebelah kanan itu.
“Goma Valley, Queenstown,” kataku membaca tulisan pada papan itu.
“Sekarang coba lihat di persimpangan sebelah kiri!” seru Joey.
“Ronder, Willyvinia,” kata Awald.
“Willyvinia? Apa itu?” tanyaku.
“Menurutku papan ini adalah penunjuk jalan seperti yang ada pada jalan tol. Goma Valley, Queenstown, dan Ronder adalah desa-desa yang ada di sekitar gunung ini. Tapi untuk Willyvinia, aku sendiri belum pernah mendengarnya,” kata Awald.
“Mungkinkah Rhena dibawa kesana?” tanya Joey.
“Mungkin. Tapi saat ini ada dua hal yang membuatku penasaran,” jawab Awald.
“Apa saja itu?”
“Rentang waktu antara Rhena terjatuh dengan kita memasuki terowongan ini tidak terlalu lama. Seharusnya kita bisa melihat penculik itu di depan kita. Dengan kata lain, mereka bergerak sangat cepat,” jelas Awald.
“Yang kedua?”
“Kau bisa lihat jejak kaki kita kan? Tapi apa kau melihat jejak kaki selain dari yang punya kita?”
“Tidak, hanya ada jejak kaki kita. Apakah kita salah jalan?” tanyaku.
“Kita sudah melalui jalan yang benar. Persimpangan di sebelah kiri lah yang harus kita lalui,” seru Joey.
“Kenapa kau yakin sekali Joey?” tanya Awald.
“Karena foto ini.”
Joey mengambil sebuah foto yang tercecer di lantai persimpangan terowongan sebelah kiri. Foto yang tidak asing lagi bagiku, yaitu foto masa kecil kami bertiga di sungai Herin. Ekspresi yang kubaca dari wajah Awald pun menunjukkan bahwa ia juga mengerti maksud Joey.
“Ayo kita telusuri terowongan ini lebih dalam lagi!” seru Joey.
Jalan yang ada pada terowongan ini semakin menanjak. Sepertinya hal ini dipengaruhi oleh struktur gunung Goma sendiri. Butuh waktu sekitar satu jam bagi kami untuk menemui persimpangan berikutnya.
“Aku lelah sekali. Perjalanan kita cukup jauh,” ujar Awald.
“Makan saja buah gogo. Siapa tahu rasa lelahmu bisa hilang,” kata Joey.
“Ide yang bagus,” komentar Awald.
Ada dua persimpangan di hadapan kami. Persimpangan sebelah kiri menuju ke Willyvinia, sedangkan yang sebelah kanan menuju ke Ronder. Aku dan Joey sibuk mencari petunjuk pada persimpangan ini, sedangkan Awald membelah dan memakan satu buah gogo.
“Joey, aku menemukan sesuatu disini,” ujarku.
Aku menunjukkan penemuanku pada Joey. Ada sebuah tulisan di dinding persimpangan menuju Willyvinia.
“Tempat bagi mereka yang terpilih.”
“Mereka yang terpilih? Itu tulisan yang ada pada gerbang hutan kan?” seru Awald.
“Benar sekali. Aku cukup yakin kita memang harus menuju ke Willyvinia,” ujar Joey.
“Hei Awald, apa lelahmu hilang karena buah itu?” tanyaku.
“Aku belum merasakan perubahan apa-apa. Buah ini mungkin butuh waktu untuk bereaksi dengan tubuh,” jawab Awald.
“Fred, lebih baik kita juga makan buah ini. Perjalanan kita mungkin masih panjang,” kata Joey.
Aku dan Joey membelah satu buah gogo yang ada di dalam tas kami. Meskipun sangat asam, tapi rasa lelah yang kami rasakan membuat kami kebal dengan rasa asam itu. Kandungan air buah gogo menyegarkan kerongkongan kami yang sejatinya memang butuh air. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju Willyvinia. Efek dari buah gogo mulai terasa di tubuh kami. Rasa lelah yang sudah kami alami sejak mulai perjalanan tadi perlahan mulai menghilang. Sepertinya perkataan neneknya Awald benar, buah ini adalah obat bagi semua penyakit, termasuk kelelahan.
“Awald, benarkah kau belum pernah mendengar tentang Willyvinia?” tanyaku.
“Aku sama sekali tidak tahu tentang nama itu. Penduduk desa pun tidak pernah membicarakan nama itu,” jawab Awald.
“Apakah itu sebuah tempat rahasia yang hanya bisa diakses melalui terowongan ini?” tanya Joey.
“Ya, tempat bagi mereka yang terpilih.”
Perjalanan panjang kami berakhir pada sebuah mulut gua yang kelihatannya juga buatan manusia. Pemandangan yang kami lihat di luar benar-benar sangat menakjubkan. Sebuah desa yang diselimuti oleh kabut putih. Cahaya matahari masih bisa menembus kabut ini meskipun hanya sedikit yang bisa masuk. Lampu-lampu di berbagai sudut desa tampak dari kejauhan tetap dihidupkan di siang hari sebagai penerangan tambahan.
“Kita masih di gunung Goma kan?” tanya Joey.
“Aku tidak tahu Joey. Aku belum pernah melihat daerah ini di gunung Goma,” jawab Awald.
“Apa ada lokasi tertentu di gunung Goma yang selalu ditutupi kabut?” tanyaku.
“Hampir seluruh lokasi di gunung Goma ditutupi oleh kabut tebal. Aku tidak tahu kita sekarang berada di lokasi yang mana,” jawab Awald lagi.
“Ayo kita cari Rhena!” ajak Joey.
“Ayo!” sahut Awald.
Awald terlihat sangat antusias untuk menyelematkan Rhena. Dia segera berlari mendahului kami. Tiba-tiba, saat ia sedang berlari, sebuah benda berkecepatan tinggi melesat ke arah kakinya. Benda itu membuat Awald tergeletak dengan seketika. Dia meringis kesakitan karena benda itu menusuk paha kanannya.
“Pahanya tertusuk panah! Ada yang menyerang kita!” teriak Joey.
Ketika kami berlari untuk menolong Awald, terdengar sebuah suara yang sangat lantang.
“JANGAN BERGERAK! ATAU KALIAN AKAN MENJADI KORBAN BERIKUTNYA!”
Aku melihat ke arah sumber suara yang berada di atas kami. Aku sangat kaget ketika menyadari darimana suara itu berasal. Dua orang manusia bertubuh kekar yang memiliki sayap melayang di atas kami sambil mengepak-ngepakkan sayapnya. Masing-masing dari mereka memegang sebuah crossbow di tangannya.
“Tidak mungkin, manusia burung…,” ujarku terbata-bata.
“Jadi manusia burung itu bukan mitos belaka…,” sahut Awald lemas.
“KALIAN DITANGKAP KARENA MEMASUKI TEMPAT INI SECARA ILEGAL! TEMPAT INI ADALAH DESA WILLYVINIA, DESA PARA MANUSIA BURUNG!”
to be continued