26 April 2012.
|
Didu mengakhiri
cerita panjang yang dibacakannya dari sebuah buku catatan tua. Kelihatan
membacakan cerita sepanjang itu membuatnya sangat haus. Ia lalu menuangkan
kembali kopi ke dalam cangkirnya yang telah kosong, kemudian meminumnya dengan
cepat untuk menghilangkan dahaga yang tersangkut di kerongkongan dan
menyelimuti bibirnya.
“Nah, kalian
sudah mendengar sendiri apa yang terjadi di gunung ini tiga ratus tahun yang
lalu. Cerita di buku ini ditulis langsung oleh Fea Edu. Kemudian, Fea
menyerahkan buku ini kepada Vuze. Seperti yang kau ketahui, nama belakangku
sama dengan Vuze, yaitu Hulovana. Buku ini diwariskan terus secara turun
temurun, sampai akhirnya saat ini ada di tanganku,” ujar Didu.
“Ada satu
hal yang ingin kutanyakan. Apakah manusia bawah juga tinggal dengan bebas di
desa ini?” tanyaku.
“Tidak juga.
Hanya beberapa orang yang memiliki paspor ini yang bisa tinggal dengan bebas
disini. Tidak hanya manusia bawah, juga ada manusia atas,” jawab Didu sambil
menunjukkan sebuah paspor.
“Jadi jika
kami memiliki paspor, kami bisa tinggal dengan bebas di desa ini?”
“Benar
sekali. Tapi tidak mudah untuk mendapatkan paspor ini. Harus ada rekomendasi
dari orang yang memiliki paspor atau dari Vog. Orang yang memberikan
rekomendasi itu juga harus orang yang terpercaya, tidak bisa sembarang orang.”
“Jadi warga
desa ini berhubungan dengan dunia luar melalui perantara manusia-manusia yang
memiliki paspor?” tanyaku lagi.
“Kau benar
lagi. Karena itulah desa ini tidak ketinggalan teknologi,” jawabnya.
“Kau bilang
sudah tiga puluh tahun sejak melarikan diri dari penjara itu. Kenapa kau tahu
mengenai perkembangan desa ini?” tanya Joey.
“Selama dua
puluh delapan tahun aku selalu meminta tolong kepada manusia bawah yang bisa
kupercaya untuk mengirimkanku makanan dan koran. Tapi dua tahun yang lalu, aku
mendapat informasi bahwa namaku sudah dihapus dari daftar buronan. Karena itu
aku mulai memberanikan diri untuk keluar. Meskipun demikian, aku sudah terlalu
nyaman tinggal disini, sehingga aku memutuskan untuk menetap disini. Selain
itu, aku juga terus menanti seseorang yang akan menggunakan jalan rahasia ini,”
jelasnya panjang lebar.
Didu menutup
buku catatan dan peta tua yang terkembang di atas meja. Setelah dia menyimpan
barang-barang itu kembali ke dalam lemarinya, dia mulai bertanya kepada kami.
“Kalian
sudah mendengarkan ceritaku. Sekarang aku juga ingin mendengarkan cerita
kalian. Apa tujuan kalian ke desa ini?” tanyanya.
Aku
menceritakan semua yang terjadi, mulai dari wabah yang berjangkit di desa As,
hilangnya Rhena, sampai tertangkapnya kami. Didu menyimak cerita itu dengan
seksama.
“Hmm, The
Levi. Sepertinya dugaan polisi-polisi itu memang benar. Aku pun yakin bahwa
merekalah orang di balik hilangnya sepupumu itu,” sahut Didu.
“Kau tahu
siapa mereka?” tanya Joey.
“Mereka
adalah kelompok kriminal yang terdiri dari lima orang. Dua orang manusia bawah,
yaitu si kembar Kiku Tresman dan Kuki Tresman, serta tiga orang Vog, yaitu Vau
Nond, Toro Ormam, dan pemimpin mereka, yaitu Levi Heres. Si kembar Tresman
menguasai teknik pembuatan pintu bawah tanah, sehingga jalur yang mereka buat
selalu ditutup dengan rapi. Vau Nond dan Toro Ormam memiliki kecepatan terbang
yang luar biasa. Tidak hanya cepat, akurasi terbangnya pun sangat hebat
sehingga mereka bisa terbang dengan cepat bahkan di dalam terowongan bawah
tanah sekalipun. Sedangkan Levi Heres terkenal sangat cerdas dan kuat. Dari
rumor yang beredar, ia pernah hampir tertangkap oleh lima orang polisi khusus. Tapi
ia berhasil melumpuhkan kelima polisi tersebut. Secara umum, mereka memang
kriminal yang mengerikan,” jelas Didu.
“Lalu kenapa
mereka menculik Rhena?” tanya Joey lagi.
“Maaf, aku
tidak mengetahui apa motif mereka,” jawab Didu.
Suasana di
dalam ruangan bawah tanah itu menjadi hening sejenak. Aku yakin kami bertiga
pasti memikirkan bagaimana cara menyelamatkan Rhena dari kelompok kriminal
berbahaya itu. Pemimpin mereka adalah seorang manusia burung. Aku masih ingat
bagaimana rasanya menangkis pukulan seorang manusia burung. Itu saja sudah
membuat tanganku hampir mati rasa. Apalagi kalau seandainya aku harus bertarung
melawan seorang manusia burung yang perkasa sampai ditentukan siapa pemenangnya.
“Bagaimana?
Apa kalian masih ingin berurusan dengan The Levi?” tanya Didu.
Pertanyaan
yang terlontar dari mulut Didu itu seolah-olah tidak merasuki telinga kami. Pertanyaan
itu terpantul ke dinding-dinding tanah, memberontak berusaha mencari jalan
keluar, dan akhirnya mau tak mau harus masuk ke telinga kami.
“Kami sudah
terlanjur berada disini. Tidak ada pilihan lain. Lagipula kami sudah bertekad
akan menyelamatkannya,” jawab Awald mantap.
Aku dan Joey
terkejut mendengar jawaban penuh keyakinan dari Awald. Sementara itu Didu hanya
tersenyum.
“Kalau
memang demikian, aku akan mengantarkan kalian menuju persembunyian mereka.”
Pernyataan
dari Didu ini semakin membuat kami terkejut. Dia akan mengantarkan kami ke
tempat persembunyian orang-orang jahat yang bahkan polisi profesional pun
kesulitan untuk melacak keberadaan mereka?
“Kau…,
mengetahui tempat mereka?” tanyaku terbata-bata.
“Benar
sekali. Andaikan selama ini aku dekat dengan pihak kepolisian, tentu saja The
Levi sudah ditangkap sejak bertahun-tahun yang lalu. Tapi biarlah, aku sama
sekali tidak menyesal. Untuk kalian ketahui, si kembar Tresman adalah muridku.
Akulah yang mengajari mereka bagaimana cara membuat pintu bawah tanah,” jawab
Didu sambil tetap tersenyum.
Entah ini
suatu kebetulan atau bukan, kami bertemu dengan orang yang mengenal penjahat
yang kami cari. Sungguh petualangan aneh yang kami mulai di desa ini. Mulai
dari ditangkap polisi, dijebloskan ke dalam penjara, menemukan jalan kabur,
mendengarkan cerita yang hilang, sampai akhirnya akan dipertemukan dengan orang
yang kami cari.
“Lewat jalan
ini,” kata Didu sambil menekan sebuah tombol di dinding.
Dinding
tanah yang tadinya terlihat begitu kokoh sekarang bergeser dengan sangat halus.
Sebuah terowongan lain terbuka di hadapan kami. Aku tercengang dengan teknologi
luar biasa yang dimiliki orang-orang ini. Kenapa selama ini mereka menutup
diri?
“Pak, ada
satu hal yang masih mengganjal di benakku,” ujarku seraya masuk ke dalam
terowongan yang baru terbuka itu.
“Apa lagi
yang masih membuatmu penasaran?” tanya Didu.
“Kenapa keberadaan
Willyvinia harus disembunyikan? Tidak hanya keberadaan desanya, tapi juga
keberadaan manusia bawah dan Vog yang ada di dalamnya.”
“Terkait
dengan insiden AVRO tiga ratus tahun yang lalu, Vog yang masih tersisa di
Askoriwimi dimigrasikan secara bertahap di bawah koordinasi Letu Rir. Setelah
migrasi selesai, semua Vog hidup secara mandiri di desa ini. Tapi beberapa
waktu setelah itu Nio datang ke Willyvinia dan menyampaikan pesan bahwa
pemerintah Askoriwimi menjalankan sebuah program penghapusan Vog. Sebuah
skenario yang dirancang pemerintah ditujukan kepada warga Askoriwimi sehingga warga
Askoriwimi memiliki pandangan seolah-olah Vog tidak pernah ada di dunia ini.
Ya, aku yakin skenario ini tidak efektif seratus persen. Menurutku, pasti ada
beberapa warga As, Kor atau Iwimi yang mengetahui tentang manusia burung ini,”
jelas Didu.
“Seperti
nenekku,” gumam Awald.
“Karena
itulah, pihak Willyvinia memutuskan untuk membuat desa ini tersembunyi. Agar
tetap berhubungan dengan dunia luar, maka dibentuklah sistem paspor itu,”
terang Didu lagi.
Kami
berjalan mengikuti Didu yang menjadi pemandu kami. Di sepanjang perjalanan,
beberapa pintu rahasia dibuka secara rapi dan halus dan kemudian ditutup
kembali juga dengan sangat rapi dan halus. Aku sekarang memahami kenapa polisi
begitu sulit menemukan The Levi. Aku juga mengerti kenapa Rhena begitu cepat
hilang ketika terperosok ke dalam lubang itu. Tidak hanya karena mungkin ia
dibawa terbang oleh manusia burung berkecepatan tinggi, tapi juga karena ada
pintu rahasia yang tidak kami ketahui. Bagiku, dijebloskan ke dalam penjara
tidak selamanya buruk. Lihat saja kali ini, dijebloskan ke dalam penjara
membawa kami kepada nasib baik. Mungkin tidak juga sepenuhnya baik, karena
lawan yang akan dihadapi adalah kriminal kelas kakap.
“Ini adalah
pintu terakhir. Aku membuat pintu ini secara diam-diam, bahkan The Levi pun
tidak mengetahui tentang pintu ini. Padahal, di balik pintu ini adalah markas
bawah tanah mereka. Nah, apakah kalian siap?” tanya Didu.
Kami bertiga
saling berpandangan, lalu dengan penuh keyakinan kami menganggukkan kepala.
“Permainan
baru saja dimulai,” ujar Didu.
Ia menekan
tombol kecil yang ada di dinding tanah itu. Seketika itu juga sebuah pintu
terbuka dengan sangat halusnya. Di balik pintu itu adalah sebuah ruangan kecil
yang agak gelap. Walaupun demikian, kami bisa melihat dengan jelas sesosok
gadis yang duduk di pojok ruangan itu. Tangan dan kakinya terikat kuat oleh
seutas tambang yang cukup besar, sementara matanya ditutupi oleh seutas kain
hitam yang diikat melingkari kepalanya. Tak salah lagi, gadis itu adalah Rhena!