Chapter 6: The Hospital of As Village

Aku memasuki tendaku untuk beristirahat. Teman satu tendaku adalah Javier dan Omoni. Di tenda lainnya ada Andre, Mark, dan Wilden. Sedangkan di tenda wanita anggotanya adalah Kara, Aida, dan Rhena. Javier dan Omoni telah terlebih dahulu berbaring. Aku kemudian ikut merebahkan diri di dalam tenda, bersiap untuk tidur.

“Tidur dengan nyenyak, Somer. Pekerjaan kita untuk besok cukup berat,” ujar Javier.

“Terima kasih, Javier,” jawabku.

“Hei Somer. Kulihat kau begitu akrab dengan sepupumu itu,” ujar Omoni.

“Begitulah. Tidak hanya dengannya, tapi juga dengan kakaknya yang bernama Joey, yang juga termasuk ke dalam tim dokter sukarelawan. Kami begitu akrab sejak kecil,” ujarku.

“Baguslah. Sepertinya kalian akan mengadakan reuni di kegiatan ini,” sahut Omoni.

“Kau benar,” jawabku singkat.


Setengah jam telah berlalu. Javier dan Omoni sudah tidur. Aku masih belum mampu memejamkan mataku. Kuputuskan untuk pergi ke luar sekedar untuk mencari angin. Keadaan di luar begitu gelap, sehingga aku harus menggunakan senter. Tiba-tiba aku menyadari seseorang keluar dari tenda. Kuarahkan senter kepadanya. Ternyata orang itu adalah Rhena.

“Kau belum tidur?” tanyaku.

“Belum. Aku keluar karena melihat cahaya sentermu dari balik tenda,” jawabnya.

Aku berjalan mendekatinya yang sedang berdiri di depan tenda. Kemudian kami duduk di depan tenda itu. Rhena mengeluarkan dompet dari saku celananya. Dia ingin mengambil sesuatu dari dalam dompet itu, tapi keadaan terlalu gelap.

“Bisa kau bantu menyoroti dompetku ini?” pintanya.

Aku mengarahkan cahaya senter ke dalam dompetnya. Sekarang dia bisa melihat dengan jelas benda-benda di dalam dompet itu. Dia mengeluarkan sebuah foto dari dalam dompet itu.

“Fred, kau masih ingat tempat ini?” tanyanya.

Aku menyoroti foto itu dan memperhatikannya. Ada tiga orang anak-anak di foto itu. Mereka tidak lain adalah aku, Rhena, dan Joey. Saat itu aku berusia dua belas tahun, Rhena berusia delapan tahun, dan Joey berusia empat belas tahun. Di foto itu cuaca sangat cerah dan bersahabat. Yang menjadi latar foto itu adalah sebuah sungai yang tidak asing lagi bagiku.

“Sungai Herin,” jawabku sambil tersenyum.


Sungai Herin adalah batas alam kota Roro dengan kota Esel, kota kelahiranku. Sebagai penghubung kedua kota, di atas sungai ini berdiri sebuah jembatan yang bernama jembatan Herin. Sebagian wilayah sungai ini merupakan kawasan Roro, sedangkan sebagian lain merupakan kawasan Esel. Sungai ini menjadi daya tarik wisata kedua kota karena keindahannya. Berbagai toko cinderamata, aksesoris, pernak-pernik, makanan, sampai Nata-nata ada di pinggiran sungai ini. Di malam hari, lampu-lampu di pinggiran sungai sampai ke jembatan Herin akan menghiasi kawasan ini dan memberikan keindahan yang luar biasa. Tempat ini adalah tempat yang sering aku, Joey, dan Rhena kunjungi saat masih kecil.

“Aku rindu saat-saat kita sering bermain ke tempat ini dulu,” ungkap Rhena.

Aku menepuk punggungnya.

“Bagaimana kalau kita kesana setelah kegiatan ini?” ajakku.

Rhena terlihat begitu senang mendengar ajakanku.

“Dengan senang hati, Fred!” jawabnya ceria.

“Sekarang lebih baik kita tidur. Pekerjaan besok akan cukup berat, jadi kita harus dalam kondisi yang prima,” ujarku.

“Baiklah Fred. Terima kasih sudah menemaniku. Selamat malam.”

“Selamat malam Rhena.”


Pagi hari pun datang. Udara pagi yang dingin ini menusuk tulangku dan membangunkanku. Aku menatap arlojiku dalam kegelapan. Meskipun gelap, tapi aku masih bisa melihat waktu saat ini, yaitu pukul 05:10. Aku melihat cahaya api dari balik tenda. Aku keluar dari tenda untuk memeriksa api apakah itu. Ternyata Rhena, Kara, dan Aida yang membuat api itu untuk memasak. Mereka kemudian menyadari keberadaanku.

“Selamat pagi Fred!” sapa Aida dan Kara.

“Selamat pagi Fred! Ternyata kau bisa bangun pagi ya,” sapa Rhena.

“Selamat pagi semua. Udara dingin ini membangunkanku,” jawabku.

“Bersihkan dirimu di tempat pemandian umum disana,” kata Kara sambil menunjuk sebuah tempat pemandian di arah timur.

“Terima kasih atas petunjuknya,” ujarku.


Aku pergi membersihkan diriku ke tempat pemandian itu. Air di tempat ini dingin sekali, sehingga membuatku menggigil kedinginan saat menyiramkannya ke badanku. Aku membersihkan diriku dengan cepat karena tak tahan dengan rasa dingin ini. Setelah selesai aku pun mengganti pakaian dan kembali ke perkemahan. Kulihat yang lain juga sudah bangun dan bersiap membersihkan dirinya. Aida membentangkan sebuah tikar yang cukup luas di tanah. Sementara itu Rhena dan Kara menghidangkan masakan yang mereka masak bersama-sama sejak tadi pagi.

“Fred, duduklah di tikar ini. Kita tunggu yang lain selesai membersihkan diri, kemudian kita sarapan bersama!” ajak Aida.

Aku duduk di atas tikar itu dan melihat apa saja menu untuk sarapan. Ada ikan goreng saus tomat dan kentang goreng. Dari aroma masakan yang tercium aku sangat yakin semua masakan ini adalah hasil karya Rhena. Dua orang gadis lainnya mungkin hanya membantu atau sekedar memperhatikan cara sepupuku itu memasak. Kira-kira dua puluh menit setelah itu semua anggota rombongan telah duduk di atas tikar sarapan ini.

“Sebelum kita mulai pekerjaan hari ini, kita harus mengisi tenaga terlebih dahulu. Sejak semalam kita belum makan apa-apa. Untuk itu, pagi ini kita akan sarapan bersama, menikmati masakan buatan teman baru kita, Rhena Somer!” ujar Andre.

Kami mengambil piring masing-masing yang sudah terhidang makanan di atasnya. Aku menyuapkan makanan itu ke dalam mulutku. Seperti biasa, makanan ini terasa luar biasa di lidahku. Aku melihat ekspresi teman-teman lainnya. Ekspresinya bermacam-macam, tapi aku yakin kalau semua ekspresi itu memiliki arti yang sama, mereka menyukai masakan Rhena!

“Hei Somer! Ternyata kau tidak bohong kepada kami. Masakan sepupumu sangat enak!” puji Omoni.

“Aku setuju dengan Omoni. Tidak salah dia menggantikan Millie, hahaha!” tambah Andre.

“Istri Lennen tua adalah koki terbaik di dunia. Tapi hari ini Lennen tua mengakui ada koki baru yang mengalahkan istriku itu,” sambung Mark.

“Terima kasih semua!” ujar Rhena penuh kebahagiaan.


Setelah selesai sarapan, kami bersiap untuk pergi ke markas tim dokter itu. Aku menyiapkan barang-barang keperluanku, mulai dari laptop, buku catatan, kamus referensi, alat-alat tulis, dan tentunya tidak lupa kartu pers. Yang lain juga tak kalah sibuk menyiapkan kebutuhannya masing-masing. Lima belas menit kemudian semua persiapan telah beres. Kami memasuki mobil minibus 4000 cc yang di dalamnya telah bersiap Mark untuk menjalankannya. Perjalanan menuju markas dokter itu pun dimulai dengan diteriakkannya semboyan kebanggaan Mark. Kami meninggalkan bumi perkemahan itu untuk memasuki daerah pemukiman.


Kira-kira lima belas menit kemudian kami telah sampai di tempat tujuan, yaitu sebuah rumah sakit sederhana bernama Rumah Sakit As. Nama rumah sakit yang sama dengan nama desa ini sepertinya dikarenakan rumah sakit ini merupakan satu-satunya di desa ini. Keterbatasan kapasitas rumah sakit ini membuat tim dokter perlu mendirikan beberapa tenda tambahan di sekitar rumah sakit. Andre menemui pimpinan tim dokter ini. Dia adalah seorang dokter senior dari kota Grand Nirta yang bernama Caesar. Wajahnya terlihat cukup muda untuk ukuran seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun sepertinya. Kami semua memperkenalkan diri kepada Caesar. Ketika datang giliran Rhena, dia sepertinya sedikit heran.

“Gadis muda, kau mirip sekali dengan salah seorang dokter disini,” ucapnya.

“Apakah yang Anda maksud Joey Somer?” tanya Rhena.

“Benar sekali! Apakah kau saudaranya?” Caesar bertanya balik.

“Iya Pak. Aku adik kandung dari Joey Somer. Namaku Rhena Somer,” jawab Rhena.

“Kebetulan sekali, Joey saat ini sedang bekerja di tenda sebelah utara rumah sakit ini. Jika kau ingin menemuinya, silakan pergi kesana!” kata Caesar.

“Terima kasih banyak Pak!” sahut Rhena.


Setelah selesai perkenalan, Rhena mengajakku ke tenda sebelah utara. Kami mencoba melihat Joey dari luar tenda ini.

“Apa kau melihat Joey?” tanyaku kepada Rhena.

“Tidak. Ayo kita cari ke dalam!” ajak Rhena.

Kami masuk ke dalam tenda untuk melanjutkan pencarian. Tenda ini cukup ramai oleh kegiatan medis. Banyaknya dokter dan pasien disini membuat kami sedikit kesulitan menemukan Joey.

“Sepertinya ada dua orang pasien baru dari Talva yang datang kesini.”

Aku kaget mendengarkan suara yang sudah tidak asing lagi di telingaku. Sedangkan Rhena, wajahnya tampak sangat bahagia. Tanpa diperintah, kami pun menoleh ke arah suara itu berasal.

“JOEY!” teriakku dan Rhena secara bersama-sama.


to be continued


Chapter 7: The Doctor from Mountain

Rekap Data Tokoh (Chapter 1 - Chapter 5)

Alhamdulillah, cerita di blog ini (yang masih belum berjudul sampai sekarang) sudah terbit 5 chapter. Nah, sebelum lanjut ke chapter 6, ada baiknya kita istirahat dulu sejenak. Untuk mengisi istirahat, saya sudah membuatkan rekap data tokoh cerita ini, mulai dari chapter 1 sampai chapter 5. Rekap data ini berisi nama tokoh beserta informasi-informasi yang telah didapatkan selama 5 chapter tersebut.


Freddy Somer

Freddy Somer adalah tokoh protagonis utama pada cerita ini. Saat ini ia berusia 24 tahun. Dia tinggal di apartemen Greenwater di kota Talva. Profesinya adalah seorang wartawan di perusahaan media massa terbesar di kota Talva, yaitu Talva Times. Karir ini sudah dimulainya sejak ia masih berusia 22 tahun. Sebenarnya ia melamar pekerjaan ke Talva Times hanya untuk coba-coba. Ia sama sekali tidak menyangka kalau ia akan diterima disana.

Fred sangat mencintai profesinya sebagai wartawan. Dalam kesehariannya, Fred mencari berita di lapangan pada pagi sampai siang hari. Setelah itu, ia akan kembali ke kantor untuk menyusun beritanya. Terkadang, ia juga mencari berita di malam hari saat ia sedang tidak bertugas di kantor. Contohnya saja berita yang ia tulis tentang kejadian pencopetan di pasar malam Colter. Yang menjadi editor atas berita yang ditulisnya adalah sahabat akrabnya sejak SMA, yaitu Cleo. Terkadang, Fred meminta bantuan kepada teman kantornya yang bernama Jammy untuk menyerahkan berkas-berkas itu kepada Cleo. Sebelum menjalankan tugas di gunung Goma, Fred meminta Cleo untuk mengajarinya menjadi editor untuk dirinya sendiri. Sampai saat ini belum diketahui tulisan yang ditulis Fred tanpa disunting orang lain.

Anggota keluarganya yang diketahui adalah Rhena Somer (sepupu), Joey Somer (sepupu), dan Alex Somer (paman). Saat ini Fred tinggal di apartemennya bersama dengan Rhena.

Kegemarannya adalah membeli makanan di Nata yang ada di hampir setiap pinggir jalan di kota Talva. Selain itu, ia selalu memilih duduk di dekat jendela jika berada di dalam mobil, karena ia sangat menikmati pemandangan berjalan dari jendela. Dia juga memiliki kemampuan yang sangat baik dalam membaca ekspresi seseorang.

Rhena Somer

Rhena Somer adalah tokoh protagonis wanita utama pada cerita ini. Dia adalah gadis berusia 20 tahun. Dalam kesehariannya, ia adalah seorang gadis yang sangat atraktif dan ceria. Ia juga sedikit keras kepala, sehingga ia mendapat gelar “sepupu yang menjengkelkan” dari Fred. Meskipun begitu, ia memiliki hubungan yang sangat akrab dengan Fred.

Anggota keluarganya yang diketahui adalah Joey Somer (kakak), Alex Somer (ayah), Julie (ibu), dan Freddy Somer (sepupu). Dia tinggal bersama Joey dan Alex di kota Roro. Ibunya sudah meninggal ketika ia berusia 10 tahun. Rhena sangat menyayangi ibunya, sehingga kematian ibunya membawa kesedihan yang luar biasa kepadanya. Semua hal-hal yang membuatnya merindukan ibunya dapat membuat sikap cerianya hilang dalam sekejap. Setelah kematian ibunya, ia menggantikan semua tugas ibunya di rumah. Hal ini membuatnya terbiasa bangun sangat pagi, menyiapkan sarapan, dan juga memasak. Cita rasa masakannya mendapatkan penilaian luar biasa dari Fred.

Saat ini ia tinggal bersama Fred, dengan alasan menggantikan Joey yang tidak jadi mengunjungi Fred. Dia sepertinya tertarik kepada pekerjaan wartawan setelah Fred menceritakan hal itu kepadanya. Makanan favoritnya adalah es krim yang dijual Nata di kota Talva. Dia juga menggantikan Millie Flintwich dalam kegiatan Talva Times di gunung Goma karena kemampuan memasaknya.

Joey Somer

Joey Somer adalah sepupu dari Freddy Somer. Dia berprofesi sebagai seorang dokter di kota Roro. Dia termasuk dalam tim dokter sukarelawan yang menangani wabah cacar di desa As.

Anggota keluarganya yang diketahui adalah Rhena Somer (adik), Alex Somer (ayah), Julie (ibu), dan Freddy Somer (sepupu).

Alex Somer

Alex Somer adalah ayah dari Joey Somer dan Rhena Somer sekaligus paman dari Freddy Somer. Dia adalah seorang duda. Anggota keluarganya yang diketahui adalah Joey Somer, Rhena Somer (anak), Julie (istri) dan Freddy Somer (keponakan).

Julie

Julie adalah istri dari Alex Somer. Dia meninggal 10 tahun yang lalu karena kecelakaan lalu lintas. Dia sangat disayangi oleh putrinya, Rhena Somer. Anggota keluarganya yang diketahui adalah Joey Somer, Rhena Somer (anak), dan Alex Somer (suami).

Cleo

Cleo adalah editor di perusahaan media massa Talva Times. Dia adalah gadis berusia 24 tahun. Tugasnya sehari-hari adalah memperbaiki tulisan sejumlah wartawan di Talva Times, termasuk sahabatnya sejak SMA, Freddy Somer. Menurut pendeskripsian dari Freddy Somer, Cleo memiliki wajah yang cantik dan berkacamata. Rambutnya yang panjang tidak pernah dibiarkan tergerai begitu saja, tapi selalu dirapikan. Dia selalu terlihat bersih dan rapi. Sejak SMA, banyak laki-laki yang memendam perasaan kepadanya. Tapi tidak ada yang berani dengan serius menyatakan perasaannya, karena menganggap Cleo terlalu sempurna untuknya. Meskipun demikian, Cleo memiliki hubungan persahabatan yang erat dengan Fred, karena suatu kejadian. Persahabatan ini sering membuat lelaki lain menjadi iri kepada Fred.

Jammy

Jammy adalah rekan kerja Freddy Somer di Talva Times. Belum diketahui apakah pekerjaan Jammy di Talva Times. Yang baru diketahui dia adalah orang yang menyerahkan berkas-berkas berita Fred kepada Cleo untuk disunting.

Packey Garnet

Packey Garnet adalah seorang pria pengangguran berusia 38 tahun. Dia adalah pencopet yang beraksi di pasar malam Colter saat Freddy Somer dan Rhena Somer tengah mengunjungi pasar malam itu. Korbannya bernama Evana McTage.

Evana McTage

Evana McTage adalah seorang ibu rumah tangga berusia 41 tahun. Dia adalah korban pencopetan dari Packey Garnet di pasar malam Colter.

Gari Dez

Gari Dez adalah seorang penyanyi pop terkenal yang berasal dari kota Talva. Dia sudah mengeluarkan tiga album yang mendapat respon positif di negara Nirta. Singlenya yang berjudul “Rain After Rain” pernah mendapatkan penghargaan dari Nirta Music Awards sebagai single pop terfavorit. Dia selalu dikawal oleh bodyguard yang melindunginya saat para penggemar menyerbunya. Salah satunya adalah saat dia datang ke pasar malam Colter, dia langsung dikerumuni oleh para penggemarnya, membuat bodyguardnya cukup kewalahan.

Mark Lennen

Mark Lennen adalah seorang lelaki tua berusia 58 tahun yang bekerja sebagai supir di Talva Times. Dia masih memiliki jiwa muda dan semangat yang tinggi, meskipun dia selalu memanggil dirinya Lennen tua. Dia sudah bekerja di Talva Times selama 31 tahun. Semboyan yang selalu diteriakkannya sebelum mengantarkan penumpang adalah “Berangkat! Lennen tua akan memindahkan tempat yang terbayang di pikiranmu ke depan matamu!”.

Andre

Andre adalah salah seorang karyawan di Talva Times. Dia termasuk ke dalam tim Talva Times yang bertugas di gunung Goma, dan bertindak sebagai ketua rombongan.

Omoni

Omoni adalah salah seorang karyawan di Talva Times. Dia termasuk ke dalam tim Talva Times yang bertugas di gunung Goma.

Aida

Aida adalah salah seorang karyawan di Talva Times. Dia termasuk ke dalam tim Talva Times yang bertugas di gunung Goma.

Kara

Kara adalah salah seorang karyawan di Talva Times. Dia termasuk ke dalam tim Talva Times yang bertugas di gunung Goma.

Javier

Javier adalah salah seorang karyawan di Talva Times. Dia termasuk ke dalam tim Talva Times yang bertugas di gunung Goma.

Wilden

Wilden adalah salah seorang karyawan di Talva Times. Dia termasuk ke dalam tim Talva Times yang bertugas di gunung Goma.

Millie Flintwich

Millie Flintwich adalah salah seorang karyawan di Talva Times. Dia sebenarnya termasuk ke dalam tim Talva Times yang bertugas di gunung Goma, tapi dia tidak jadi berangkat karena ayahnya meninggal dunia di hari kepergian. Keberangkatannya digantikan oleh Rhena Somer.

Chapter 5: Young Spirit in Old Body

Dia berjalan ke arah kami. Kami semua memandang ke arahnya. Ada yang terheran-heran, ada yang biasa saja, dan ada juga yang tercengang. Aku sendiri masih belum sanggup untuk melepaskan kata-kata yang dari tadi masih tertahan di lidahku.

“Aku belum pernah melihatmu di Talva Times. Perkenalkan dirimu!” ujar Andre.

Orang itu diam sejenak. Kemudian dia angkat bicara.

“Perkenalkan, namaku Rhena Somer!” katanya mantap.

Tanpa diperintah semua orang di rombongan mengarahkan pandangannya kepadaku. Aku dapat melihat tatapan mereka semua dipenuhi oleh tanda tanya yang besar.

“Fred, dia memiliki nama belakang yang sama denganmu. Apakah dia saudaramu?” tanya Andre, dengan rasa ingin tahu yang besar.

“Nggg, dia…,”

“Benar! Aku sepupu dari Fred! Ayahnya adalah adik dari ayahku!” ujar Rhena tiba-tiba.

“Ya, kau sudah mendapat jawabannya kan?” jawabku.

Andre mengangguk-angguk. Kemudian dia kembali bertanya kepada Rhena.

“Hmm, jadi kau sepupu dari Fred. Baiklah Rhena Somer, aku ingin menanyakan dua hal kepadamu.”

“Silakan, aku akan menjawabnya dengan senang hati,” kata Rhena.

“Pertanyaan pertama, darimana kau tahu nama lengkap Millie?”

“Fred memperlihatkan surat tugasnya semalam. Sewaktu ia tidur, aku diam-diam mengambil surat itu dan membuat salinannya,” jawabnya.

“Jadi kau mengambil surat itu semalam?” tanyaku geram.

“Hei, kalian tinggal bersama?” tanya Wilden.

“Tidak. Dia tinggal di kota Roro. Saat ini ia sedang berkunjung ke Talva, karena itu ia menginap di apartemenku,” jawabku.

“Kulanjutkan ke pertanyaan kedua. Apa yang membuatmu yakin bisa menggantikan Millie?”

“Di surat ini tertulis Millie bertugas sebagai juru masak rombongan. Kalau soal masak-memasak, kau tidak perlu meragukanku. Tanya saja pada Fred, dia sudah merasakan langsung masakanku!”

“Benarkah Fred?” tanya Andre padaku.

“Ya, aku tidak bisa bohong tentang ini. Dia adalah koki yang sangat hebat,” jawabku.

“Baiklah, kau memenuhi syarat untuk menggantikan Millie,” kata Andre.

“Terima kasih banyak Pak!” sahutnya girang.


Rhena kemudian berkenalan dengan semua anggota rombongan. Semua orang menyambut perkenalan itu dengan ramah. Bahkan Aida meminta Rhena untuk mengajarinya memasak sepulang dari kegiatan ini. Walaupun untuk pertama kalinya bertemu dengan mereka, tapi Rhena tetap memperlihatkan wajahnya yang ceria. Aku salut dengan kemampuan beradaptasi sepupuku itu. Tak lama kemudian, mobil yang akan membawa kami ke tempat tujuan telah datang. Mobil tipe minibus 4000 cc bermesin diesel itu dikendarai oleh supir redaksi, Mark Lennen. Lelaki ini telah berusia lima puluh delapan tahun, tetapi semangatnya masih seperti pemuda berusia dua puluh delapan tahun. Dia sudah bekerja sebagai supir di Talva Times selama tiga puluh satu tahun. Meskipun hanya seorang supir, tapi ia sangat mencintai pekerjaannya itu.

“Ayo, masukkan barang-barang kalian ke dalam mobil. Setelah itu duduklah di tempat yang kalian sukai. Lennen tua ini siap mengantarkan kalian!” seru Mark dengan penuh semangat.

“Pak tua, apa kau masih sanggup membawa kami ke gunung Goma?” tantang Andre.

“Hahaha, kau tak perlu meragukanku, Andre! Lennen tua ini hanya tua secara fisik. Tapi jiwa mudaku tak pernah menua. Jangankan dengan mobil, berlari saja aku masih sanggup ke gunung Goma, hahaha!” jawab Mark dengan mantap.

Kami pun tertawa bersama-sama. Rhena sepertinya begitu mengagumi jiwa muda yang terkurung di dalam raga tua itu.


Kami menaikkan barang-barang kami ke dalam minibus itu. Kemudian kami mengambil tempat duduk masing-masing. Mobil berkapasitas enam belas orang itu sebenarnya lebih dari cukup untuk dimasuki kami yang berjumlah delapan orang ditambah Mark sebagai supir. Bahkan setelah dimasuki barang-barang pun kami masih bisa duduk dengan cukup nyaman. Andre dan Omoni duduk di depan di sebelah Mark. Aku duduk di dekat jendela bersama Rhena di baris kedua. Aida duduk bersama Kara di barisan belakangku. Sedangkan yang paling belakang adalah Wilden dan Javier. Setelah semua dirasa beres, Mark mulai menjalankan mobil ini.

“Berangkat! Lennen tua akan memindahkan tempat yang terbayang di pikiranmu ke depan matamu!” teriak orang tua itu.

Kami semua tertawa mendengar teriakannya. Itu adalah semboyan yang selalu diteriakkan Mark ketika akan mengantarkan penumpangnya. Memindahkan tempat yang sebelumnya hanya terbayang di pikiran kami menjadi benar-benar di depan mata kami sendiri.


Perjalanan menuju gunung Goma pun dimulai. Mark mengarahkan mobil ke jalan tol untuk mengambil jarak tempuh paling singkat menuju perbatasan kota. Perjalanan ini bukanlah perjalanan yang singkat, melainkan perjalanan yang panjang. Jarak dari kota Talva ke gunung Goma cukup jauh. Kami bisa menghabiskan sepuluh jam perjalanan untuk mencapainya. Wilayah-wilayah yang akan dilewati dalam perjalanan nanti adalah kota Talva, kota Mamaga, desa Kari, desa Landares, kota Plandiata, desa Queenstown, dan desa Goma Valley.


Di tengah perjalanan, kami melakukan berbagai aktivitas. Andre dan Omoni kelihatannya asyik berbagi cerita dengan Mark. Lain halnya dengan Wilden, ia sibuk memotret pemandangan kota Talva melalui jendela mobil dengan kamera DSLR nya. Aida dan Kara bercerita tentang trend pakaian terbaru. Javier lebih memilih untuk mendengarkan musik dari pemutar musik portabel. Aku sendiri kembali menjalankan kebiasaanku, yaitu menikmati pemandangan berjalan kota Talva melalui jendela mobil. Sedangkan Rhena, kuperhatikan ia sedang membaca novel Bersama Waktu, karangan Vella Kirkov. Tiba-tiba muncul pertanyaan dari kepalaku.

“Rhena, kenapa kau mengikutiku ke kantor?” tanyaku.

Rhena tertegun mendengar pertanyaanku. Dia menutup novel yang sedang ia baca.

“Fred, aku juga tidak bisa menjelaskan ini padamu. Walaupun kujelaskan, aku yakin kau akan bilang tidak masuk akal,” jawabnya.

“Jelaskan saja dulu,” kataku.

“Sewaktu kau perlihatkan surat tugas itu, aku mendapat firasat bahwa aku akan menggantikan salah seorang di antara mereka. Lalu kenapa aku membuat salinan surat itu, aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku melakukannya. Sepertinya aku diperintahkan alam bawah sadarku,” jawabnya.

Aku memperhatikan matanya. Tidak terdapat tanda-tanda kebohongan pada ucapannya itu. Aku kemudian menanggapi ucapannya itu.

“Aku juga. Tidak tahu kenapa, aku percaya kata-katamu. Sepertinya alam bawah sadarku juga memerintahkanku untuk itu,” ujarku.

Rhena tersenyum mendengar ucapanku.

“Mungkin karena kita sama-sama keluarga Somer,” bisiknya.

“Mungkin,” jawabku.


Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, kami akhirnya sampai di desa Goma Valley. Saat ini waktu menunjukkan pukul 18:55. Perjalanan masih belum berakhir, karena dari desa ini kami harus menempuh jalan ke atas gunung. Di gunung Goma sendiri ada tiga desa, yaitu desa As, desa Kor, dan desa Iwimi. Ketiga desa ini berbatasan secara langsung. Dahulu ketiga desa ini merupakan satu desa berwilayah luas tapi berpenduduk sedikit yang bernama desa Askoriwimi. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang terus berlangsung, desa ini akhirnya dibagi menjadi tiga desa yang menangani wilayah pemerintahan masing-masing. Desa yang terjangkit wabah cacar yang akan kami kunjungi itu adalah desa As. Mark membawa kami dari Goma Valley ke As dalam waktu tiga puluh menit. Pukul 19:25, kami telah sampai di sebuah lokasi perkemahan.

“Kita telah sampai! Tempat yang sebelumnya hanya terbayang di pikiran kalian saat ini telah ada di depan mata kalian!” teriak Mark.

“Terima kasih Pak. Jiwa mudamu memang luar biasa,” sahut Andre.


Kami menurunkan barang-barang bawaan kami dari dalam mobil. Setelah itu kami mendirikan tenda-tenda dan memasukkan barang-barang yang lain ke dalamnya. Lokasi perkemahan ini berdekatan dengan markas tim dokter sukarelawan itu. Dengan itu, kami tidak perlu pergi terlalu jauh untuk menemui dan menyaksikan kegiatan dokter-dokter itu.

“Desa ini gelap sekali. Hanya ada beberapa lampu jalan di sudut-sudut desa ini,” ujar Kara.

“Maklumlah, ini bukan daerah pemukiman di desa ini. Jika kau ingin melihat daerah pemukiman, maka besok pagi kita akan melihatnya, di tempat dokter-dokter itu,” sahut Mark.

“Sekarang istirahatlah dulu. Besok pagi kita akan mulai pekerjaan ini!” seru Andre.

Kami pun bersiap untuk memasuki tenda masing-masing. Sebelum memasuki tendanya, Rhena berbisik padaku.

“Fred, besok kita akan menemui Joey.”

Aku tersenyum mendengarkan bisikan itu.

“Aku tak sabar menunggu hari esok datang, Rhena!” sahutku penuh semangat.


to be continued


Chapter 6: The Hospital of As Village